“Surabaya Langit Masih Biru”.
Kehidupan yang penuh pertanyaan
Cerpen 002
Serie kedua
Oleh : Adharta
Ketua Umum
KRIS
Ilustrasi Elisabeth
Sepi yang Tak Pernah Pergi
Para sahabat dan pbaca setia
Hari ulang tahunnya yang ke-35 berlalu begitu saja.
Tak ada pesan. Tak ada kue. Hanya notifikasi dari aplikasi marketplace yang menawarkan diskon untuk skincare.
Di kantor, tak seorang pun mengingat hari itu.
Bahkan Wina, rekan sekantornya yang dulu pernah sesekali makan siang bersama, kini pun sibuk menyiapkan pernikahannya.
Elisabeth berjalan sendirian menyusuri Tunjungan Plaza sore itu.
Bukan untuk belanja, hanya agar merasa seperti bagian dari dunia. Ia duduk di food court, memesan satu gelas lemon tea, dan mengamati pasangan-pasangan muda tertawa.
Ada anak kecil tertidur di bahu ibunya.
Ada seorang ayah menggendong bayi sambil menyuapi istri yang tertawa lebar.
“Kapan terakhir kali aku dipeluk?” pikirnya.
Malamnya,
di kamar kecil berlampu kuning hangat, Elisabeth membuka sebuah buku catatan kulit tua yang sudah lapuk.
Di dalamnya ada tulisan tangan neneknya
sebuah surat terakhir sebelum meninggal.
> “Elisabeth kecilku, hidup tidak akan mudah, tapi kamu adalah bunga yang tumbuh di tengah batu. Jangan pernah menyerah. Suatu hari, seseorang akan melihat betapa indahnya kamu, dan dunia akan tahu siapa kamu sebenarnya.”
Surat itu selalu berhasil membuatnya menangis.
Tapi kali ini berbeda. Tangisnya bukan karena sedih, tapi karena marah.
Ia marah pada dunia.
Pada waktu. Pada semua orang yang tak melihat dirinya.
Sungguh sebuah kehidupan yang penuh tantangan
Elisabeth menyatakan
Perlawanan dalam Sunyi
Sesuatu dalam dirinya mulai bergeser
Ia mulai mengikuti seminar pengembangan diri secara online. Diam-diam, ia belajar tentang branding, self-worth, dan komunikasi yang sehat.
Ia membeli baju baru
bukan untuk orang lain, tapi untuk dirinya sendiri.
Di kantor, ia tetap dibully. Tapi kini, ia menatap mata orang-orang yang menghinanya.
“Elisabeth,
kamu nggak capek ya tiap hari kerja kayak robot?”
Ia tersenyum, tenang.
“Robot pun kalau dirawat bisa jadi mesin terbaik. Nggak kayak kamu, nyinyir tapi nggak produktif.”
Semua terdiam. Itu pertama kalinya Elisabeth melawan.
Sore itu, setelah bertahun-tahun, ia pulang ke rumah dengan hati sedikit lebih ringan.
Ia menatap cermin. Rambutnya diikat rapi, wajahnya tanpa makeup berat tapi bersinar.
Untuk pertama kalinya, ia merasa cantik
Sebuah keunginan tentu perlu pernyataan diri dan berani berbalik
Beberapa bulan setelah perubahan kecil yang ia mulai,
Elisabeth ditugaskan mengikuti pelatihan pemasaran digital di Jakarta selama dua minggu.
Di sana, ia bertemu dengan banyak orang dari berbagai latar belakang
dan untuk pertama kalinya, ia merasa tidak dinilai dari masa lalu atau status sosial.
Ia bertemu Armand, seorang konsultan brand berusia 42 tahun, seorang yang ramah, penuh perhatian, dan tidak bertanya soal keluarganya.
Da hanya tertarik pada ide-ide Elisabeth, pada cara pandangnya yang jernih dan lugas.
“Menurut saya,” kata Elisabeth saat diskusi di kelas,
“kadang yang dibutuhkan brand bukan cuma iklan besar, tapi empati. Ketulusan terasa, bahkan di dalam kemasan kecil.”
Armand menatapnya dengan kagum.
“Kamu bukan cuma paham produk. Kamu paham hati manusia.”
Malam setelah sesi terakhir pelatihan, mereka makan malam
di sebuah warung kecil di bilangan Menteng.
Sambil menyuap nasi goreng hangat, Armand berkata,
“Kamu pernah merasa tidak dianggap, ya?”
Elisabeth menatap kosong ke arah lampu jalan.
“Sering.
Sampai akhirnya saya sadar, saya harus menganggap diri saya sendiri dulu.”
Malam itu, mereka bicara panjang lebar. Tapi ketika Armand mencoba menggenggam tangannya, Elisabeth menarik diri perlahan.
“Aku belum siap. Hatiku masih belajar percaya.”
Armand mengangguk.
“Aku tidak buru-buru.
Aku cuma ingin kamu tahu, kamu layak dicintai. Dengan atau tanpa masa lalu.”
Rumah Tanpa Alamat
Setelah kembali ke Surabaya, Elisabeth merasa seperti kembali ke medan tempur. Tapi kini, ia bukan lagi tentara tanpa senjata.
Ia mulai menyusun proposal untuk membuat divisi product storytelling di kantornya
menggabungkan pemasaran dan kisah nyata pelanggan.
Ide itu awalnya ditertawakan. Tapi saat dipresentasikan dengan data dan contoh kampanye sukses dari luar negeri, bahkan atasannya pun mulai tertarik.
Hingga suatu hari,
direktur utama perusahaan mengundangnya ke kantor pusat.
“Elisabeth, kamu bikin kami berpikir ulang soal cara kerja selama ini.
Kami ingin kamu memimpin divisi baru ini. Namanya:
“Voice of Women.”
Ia terdiam. Tak percaya.
“Kenapa saya?”
“Karena kamu tahu rasanya tidak punya suara.
Itu membuat kamu jadi suara bagi banyak orang.”
Aku menanti
Kisah berikutnya
Bersambung
Www.kris.or.id