Nasib
Oleh : Adharta
Ketua Umum
KRIS
Cerpen 005
Sepanjang jalan kenangan
Jumat 22 Agustus 2025
Kupersembahkan kisah ini buat istriku tercinta
Drg Magdalena
Kisahku
Di sebuah kampung kecil di pinggir kota Jakarta, hiduplah seorang pemuda bernama Raka.
Usianya tiga puluh dua tahun, lajang, dan bekerja serabutan. Orang-orang di kampung mengenalnya sebagai sosok yang rajin, tapi “tidak beruntung.”
Kata itu—tidak beruntung
seolah menjadi cap yang menempel di dahi Raka sejak kecil.
Ia lahir dari keluarga miskin. Ayahnya seorang buruh bangunan yang meninggal ketika ia masih duduk di bangku SMP, tertimpa reruntuhan saat proyek sedang berjalan. Ibunya hanya seorang penjual gorengan di depan rumah. Sejak itu, Raka harus berhenti sekolah, membantu ibunya mencari nafkah, dan perlahan melupakan cita-citanya untuk menjadi guru.
“Raka, orang seperti kita ini jangan mimpi terlalu tinggi. Sudah syukuri saja kalau bisa makan setiap hari,”
kata ibunya suatu malam. Kalimat itu bukan bermaksud mematahkan semangat, melainkan sekadar pengingat akan realitas.
Tapi di hati Raka, luka itu mengendap, membentuk keyakinan bahwa mungkin memang nasib sudah menutup jalan untuknya.
Kehidupan yang Berat
Hari-hari Raka dipenuhi pekerjaan tak menentu.
Kadang ia membantu mengangkut barang di pasar, kadang ikut tukang bangunan, atau bekerja sebagai ojek motor sewaan. Semua dilakukan demi sekadar bertahan hidup.
Setiap kali ia melihat teman-teman sebaya yang dulu satu sekolah, hatinya bergetar. Ada yang sudah jadi pegawai negeri, ada yang bekerja di perusahaan besar, bahkan ada yang punya usaha sendiri. Mereka hidup dengan keluarga kecil yang hangat, sementara Raka masih tinggal di rumah reyot bersama ibunya yang renta.
Suatu sore, ia duduk di warung kopi dekat rumah. Di depannya, beberapa teman lama sedang berbincang tentang kesuksesan masing-masing.
“Anak gue udah masuk SMP favorit, loh,” kata Arif bangga.
“Wah, hebat! Gue sih baru bisa DP rumah, doain lunas cepet,” sahut Budi.
Raka hanya tersenyum kecut.
Ia ikut tertawa ketika mereka bercanda, tapi dalam hati ia bertanya, Kenapa nasibku begini? Apa salahku?
Cinta yang Tak Sederhana
Di kampung itu, ada seorang gadis bernama Mira. Ia adalah teman masa kecil Raka, dan diam-diam perempuan itu pernah mengisi ruang di hatinya. Mira tidak pernah merendahkan Raka, bahkan sering membelanya ketika ada orang yang mengejek.
Suatu malam, ketika listrik padam dan kampung gelap gulita, Raka duduk di teras rumah.
Mira lewat, membawa senter kecil.
“Rak, masih bangun?” tanyanya.
“Iya, kepanasan di dalam,” jawab Raka.
Mira tersenyum. “Kadang aku iri sama kamu.”
“Iri? Sama aku? Kenapa?” Raka tertawa kecil, merasa aneh.
“Soalnya kamu tabah.
Hidupmu nggak mudah, tapi kamu tetap jalanin. Aku nggak tahu kalau aku di posisi kamu, mungkin aku udah nyerah.”
Kalimat itu menusuk hati Raka.
Ada perasaan hangat, tapi juga getir.
Ia tahu Mira akan segera menikah dengan seorang pegawai kantoran dari kota. Cintanya harus dipendam, karena ia merasa tak pantas bersanding dengan perempuan itu.
Ujian Baru
Beberapa bulan kemudian, ibunya jatuh sakit.
Usia dan kerja keras membuat tubuh renta itu rapuh.
Raka semakin sibuk mencari uang untuk biaya berobat.
Ia rela bekerja dari pagi sampai malam, bahkan sering hanya makan sekali sehari agar ibunya bisa membeli obat.
Namun, takdir kembali mempermainkannya.
Suatu malam, sepeda motor tuanya dicuri saat ia sedang mengantar barang.
Motor itu satu-satunya alat yang membuatnya bisa bekerja sebagai ojek. Hilangnya motor berarti hilangnya separuh penghasilan.
Ketika ia melapor pada polisi, ia hanya mendapat jawaban singkat:
“Begitulah, Pak. Kalau ada rezeki, nanti ketemu.”
Raka pulang dengan langkah gontai. Sesampainya di rumah, ia duduk di samping ibunya yang terbaring.
“Ibu, maaf… motor kita hilang,” ucapnya lirih.
Ibunya menatap lemah, lalu menggenggam tangannya. “Sudahlah, Nak. Jangan terlalu dipikirkan. Selama kamu masih sehat, masih ada jalan.”
Raka menunduk. Air matanya jatuh di punggung tangan ibunya.
Pertemuan yang Mengubah
Suatu hari, ketika Raka bekerja membantu kuli bangunan, seorang pria paruh baya datang meninjau lokasi.
Rupanya ia pemilik proyek, bernama Pak Surya.
Melihat kerja keras Raka, ia tertarik untuk mengajaknya bicara.
“Anak muda, kamu kelihatan rajin. Pernah kerja tetap?”
“Belum pernah, Pak.
Sekolah saya juga nggak sampai tamat SMA.”
“Kalau saya kasih kamu pekerjaan tetap di toko bahan bangunan, mau?”
Raka terkejut. Matanya berbinar, tapi ia juga ragu.
“Mau sekali, Pak… tapi saya nggak punya ijazah.”
“Yang saya butuhkan bukan ijazah. Saya butuh orang jujur dan mau kerja keras.”
Hari itu menjadi titik balik.
Raka diterima bekerja di toko Pak Surya dengan gaji tetap.
Meski tidak besar, tapi cukup untuk kebutuhan sehari-hari dan biaya obat ibunya.
Cobaan Terakhir
Namun, hidup tak pernah lurus. Beberapa bulan kemudian, kondisi ibunya memburuk. Dokter mengatakan bahwa penyakit jantungnya sudah parah. Meski sudah berusaha mengobati, ajal tetap datang menjemput.
Di malam penuh duka itu, Raka duduk di samping jasad ibunya. Tangannya menggenggam erat kain kafan. Hatinya hancur. Kini ia benar-benar sendiri.
Tetapi sebelum ibunya menghembuskan napas terakhir, ada pesan yang terpatri kuat di benaknya:
“Raka… jangan pernah salahkan nasib.
Karena nasib itu bukan hukuman, tapi jalan.
Kamu bisa memilih bagaimana melaluinya.”
Menemukan Makna
Waktu berjalan. Raka perlahan bangkit.
Ia tetap bekerja di toko Pak Surya, dan lama-kelamaan dipercaya untuk mengelola sebagian usaha. Dari hasil tabungan, ia membeli sepeda motor baru. Hidupnya memang tidak tiba-tiba kaya atau penuh kemewahan, tetapi ada rasa mantap dalam hatinya: ia mampu berdiri di atas kakinya sendiri.
Suatu sore, ia kembali duduk di warung kopi. Kali ini, ia tidak merasa kecil di hadapan teman-temannya
Meski mereka lebih sukses, ia tahu setiap orang punya jalan masing-masing.
Mira, yang kini sudah menikah dan tinggal di kota, sempat pulang kampung. Mereka bertemu sebentar.
Mira menatap Raka dengan mata berkaca-kaca.
“Kamu kelihatan lebih tenang sekarang, Rak.”
Raka tersenyum. “Mungkin aku sudah berdamai dengan nasib.”
Nasib itu Jalan
Kita lalui dan kita arahkan
Menuju cahaya masa depan
Hidup Raka bukan kisah kemenangan besar, bukan pula kisah cinta yang berakhir indah.
Tetapi di balik luka, kehilangan, dan kejatuhan, ia menemukan kekuatan untuk menerima. Bahwa nasib tidak selalu bisa dipilih, tetapi cara menjalaninya ada di tangan manusia.
Dan di sanalah, di balik kesederhanaan hidupnya, Raka menemukan arti sejati: bukan sekadar bertahan, tapi juga memahami bahwa setiap langkah adalah bagian dari perjalanan panjang bernama nasib.
Www.kris.or.id
Www.adharta.com