Cerpen 001
Oleh : Adharta
Ketua Umum
KRIS

Udara sore di Ciwidey mulai turun suhu saat kabut tipis menyelimuti perbukitan. Ladang teh berwarna hijau gelap menghampar sejauh mata memandang, dan aroma segar daun teh yang baru dipetik menyatu dengan harum tanah basah.

Di sebuah pondok kayu kecil di pinggir kebun teh, dua remaja duduk berdampingan, memandangi langit yang perlahan berubah warna kejinggaan.

“Surya,”
ucap Baby pelan, memecah kesunyian yang hanya diisi suara burung dan desir angin,
“kamu yakin kita bisa terus seperti ini?”

Surya menoleh, memandangi wajah gadis yang sudah dikenalnya sejak SMP itu.
Rambut Baby yang hitam pekat berkilau terkena cahaya matahari terakhir hari itu. Tatapannya penuh tanya, namun ada getar keteguhan di sana.

“Aku gak yakin kita akan selalu bisa begini, Baby,” jawab Surya jujur, “tapi aku yakin… perasaan ini nggak akan berubah.”

Baby tersenyum tipis, lalu menunduk. “Mereka gak akan pernah setuju, ya?”

Surya menarik napas dalam-dalam. “Ayahku ingin aku masuk akademi militer, katanya aku harus menikah dengan putri koleganya di Bandung. Katanya, hidup yang terarah itu kunci masa depan. Sedangkan… kamu.”

Baby mengangkat kepala, menahan air mata. “Sedangkan aku, anak petani teh yang baru lulus SMA, tanpa gelar, tanpa koneksi.”

“Jangan bilang begitu,” kata Surya cepat, menggenggam tangan Baby. “Kamu lebih dari cukup. Kamu selalu jadi rumah buatku.”

Mereka bertemu pertama kali saat hujan besar mengguyur kebun teh di masa SMP. Baby sedang berlarian membawa ember penuh pucuk teh, terpeleset, dan embernya tumpah. Surya yang kebetulan sedang berlibur di rumah pamannya di desa itu, membantu Baby mengumpulkan kembali teh-teh yang berserakan.

“Namaku Baby,” katanya sambil tersenyum malu. “Kayak boneka, ya?”

Surya tertawa saat itu. “Namaku Surya. Kayak matahari. Cocok, ya? Matahari dan boneka.”

Mereka menjadi teman pena, lalu teman jalan, lalu tanpa sadar jatuh cinta. Hubungan yang tumbuh perlahan, dalam diam, dalam pesan-pesan WhatsApp yang disimpan rapat dari orang tua

Namun dunia nyata lebih keras dari impian mereka. Ayah Surya, seorang pengusaha properti sukses di Jakarta, menolak mentah-mentah hubungannya dengan Baby. “Kamu pikir kamu bisa hidup dari cinta? Anak petani? Tidak punya masa depan.”

Sementara ibu Baby menangis tiap malam. “Nak, kamu jangan bikin hidup makin sulit. Kita ini rakyat kecil. Jangan mimpi terlalu tinggi. Cinta gak cukup buat bayar beras.”

Mereka mencoba memperjuangkan, menyusun rencana kabur, melamar pekerjaan bersama di kota, bahkan berangan-angan membuka kedai kopi kecil di pinggir danau Situ Patenggang. Namun, setiap langkah terasa seperti menabrak tembok.

Suatu malam di bulan Juli, saat kabut begitu pekat dan angin dari pegunungan dingin menusuk kulit, Surya datang diam-diam ke rumah Baby.

“Aku harus pergi minggu depan,” katanya lirih. “Ayahku udah mendaftarkan aku ke akademi.”

Baby memandang Surya dalam kegelapan, lalu perlahan memeluknya. Tidak ada tangis, hanya keheningan yang panjang. “Aku gak akan menahan kamu,” katanya akhirnya. “Aku juga harus belajar mandiri.”

Surya meraih dagu Baby, menatap mata cokelatnya yang selalu membuatnya tenang. “Jangan pernah berpikir kamu sendiri. Aku akan kembali.”

Baby tersenyum, lalu melepaskan genggaman tangan Surya. “Kalau kamu percaya pada takdir, biarkan waktu yang jawab.”

Hari-hari berlalu seperti aliran sungai. Baby mulai bekerja di sebuah pabrik teh lokal sebagai tenaga pengepak. Setiap malam, ia menulis puisi di buku kecil yang diberikan Surya. Buku itu menjadi satu-satunya penghubung dengan kenangan mereka. Ia menolak semua ajakan kencan dari pemuda-pemuda desa. Hatinya tetap setia, meski ia tidak tahu apa yang dilakukan Surya sekarang.

Sementara itu, Surya menjalani pelatihan keras di akademi. Ia jarang punya waktu untuk membuka ponsel. Tapi di sela-sela malam sunyi, ia duduk di bawah pohon pinus di lapangan barak, membaca kembali pesan-pesan lama dari Baby.

Mereka masih saling mengirim surat, sesekali, walau hanya beberapa kata: “Masih di sini.” “Masih menunggu.” “Kamu baik-baik saja?”

Tiga tahun berlalu.

Suatu hari, Surya yang kini berseragam dinas, berdiri di pinggir danau Situ Patenggang, tempat mereka dulu pernah bersumpah untuk membangun masa depan bersama. Ia memandangi air yang tenang, mengenang tawa Baby saat menjatuhkan roti isi ke air dan menyalahkan angin.

Ia datang ke desa, bertanya pada tetangga tentang Baby. Rumahnya masih ada, tapi kini lebih senyap. Ibunya sudah meninggal karena stroke, ayahnya tinggal bersama adik Baby yang masih kecil.

Baby tidak menikah. Ia kini menjadi guru taman kanak-kanak di desa. Tetap sederhana, tetap murah senyum, kata orang.

Surya tidak langsung mendatangi rumahnya. Ia hanya berdiri jauh, memperhatikan dari kejauhan. Baby sedang menuntun anak-anak kecil menanam bunga di halaman sekolah. Wajahnya masih sama. Ada sinar lembut yang selalu menenangkan.

Ia tahu, jika ia mendekat lagi sekarang, mungkin luka lama akan terbuka. Mungkin harapan akan kembali menyala, hanya untuk dihancurkan lagi. Tapi Surya juga tahu satu hal: ia belum selesai mencintainya.

Sore itu, Baby kembali ke rumah, menemukan selembar kertas terselip di pagar.

Tulisan tangan itu tak berubah.

“Baby,
Aku pernah berjanji untuk kembali.
Tapi aku juga berjanji untuk membiarkan waktu yang menjawab.
Hari ini aku melihatmu dari jauh, dan hatiku bergetar seperti dulu.
Mungkin kita belum bisa bersama sekarang.
Tapi langit yang kita pandangi masih sama.
Dan aku percaya, selagi langit masih biru, harapan tidak akan mati.

— Surya.”

Baby menyentuh kertas itu perlahan, lalu menatap langit. Awan tipis bergerak pelan. Hati kecilnya berkata, ini belum akhir. Mungkin bukan sekarang, tapi suatu hari nanti, jalan akan terbuka.

Ia menyimpan surat itu di balik buku puisinya, lalu duduk di teras rumah. Menyeduh teh hangat, menatap matahari yang mulai turun ke balik bukit.

Di langit Ciwidey, warna jingga senja menjanjikan sebuah harapan. Tak sepenuhnya bahagia, tapi juga bukan duka yang mematikan. Hanya jeda. Jeda yang penuh makna.

Adakah Cinta dalam Cita buat masa depan

Cinta tidak datang dari masa depan
Tetapi bunga Cinta yang tumbuh dari bibit dimasa lalu

Adharta