Jejak Persahabatan

Cerpen 007
Oleh : Adharta
Ketua Umum
KRIS

Akhir Aguatus 2025

Mengenang Orang tua saya yang telah meninggal 27 tahun lalu

Surat Pertama dari Penjara

Malam pertama di penjara Bangkok,
Ling Ling diberi selembar kertas usang dan pensil kecil.
Dengan tangan gemetar, ia menulis:

> Untuk sahabatku, Jeany…

Aku tidak tahu harus mulai dari mana.

Semuanya terasa seperti mimpi buruk.
Aku masih bisa mendengar teriakan petugas di bandara, masih bisa merasakan tangan mereka menarik lenganku.

Jeany, aku tidak menyalahkanmu. Jangan pernah merasa bersalah.
Aku tahu kamu hanya ingin membuatku bahagia dengan perjalanan ini. Aku yang terlalu polos, terlalu senang, sampai tidak berpikir.

Hari ini aku tidur di lantai dingin, bersama belasan orang asing.
Aku takut, Jeany. Aku benar-benar takut.

Tapi yang membuatku kuat adalah bayanganmu
sahabatku yang selalu menggenggam tanganku di saat paling gelap.

Tolong jaga ibuku di Bangka. Jangan biarkan dia mendengar kabar ini dari orang lain.

Aku tidak sanggup membayangkan wajahnya menangis.

Sahabatmu,
Ling Ling

Surat itu sampai ke tangan Jeany sehari kemudian. Ia membacanya sambil menangis di kamar hotel. Air matanya menodai tinta di kertas itu.

Jeany Menulis Balasan

Jeany menulis balasan panjang dengan tinta biru:

> Ling Ling, sahabatku…

Aku janji, kamu tidak sendiri. Setiap langkahmu, aku akan ada di sampingmu. Jangan pernah merasa kamu merepotkan aku atau keluargaku. Kamu bukan beban kamu bagian dari keluarga kami.

Aku sudah berbicara dengan pengacara internasional. Percayalah, kami tidak akan diam. Kami akan berjuang sampai napas terakhir untuk membebaskanmu.

Ingatlah, Ling. Persahabatan kita lebih kuat dari dinding penjara.

Kamu tidak akan pernah hilang dariku.

Dengan cinta,
Jeany

Kehidupan di Penjara Bangkok

Hari-hari Ling Ling di penjara bukan sekadar penderitaan fisik, tapi juga cobaan batin. Ia berbagi sel dengan perempuan dari berbagai negara: ada yang terjebak sindikat narkotika, ada pula yang benar-benar pelaku.

Setiap malam, ia menatap bintang kecil dari celah jendela berjeruji. Dalam hatinya ia selalu mengulang doa:

> “Tuhan, beri aku kekuatan. Jangan biarkan Jeany berhenti percaya padaku.”

Ling Ling kemudian mulai menulis buku harian. Ia menuliskan pengalamannya: betapa sulitnya bertahan hidup dengan makanan seadanya, bagaimana ia harus bekerja membuat kerajinan tangan untuk mengisi waktu, hingga persahabatannya dengan sesama napi.

Namun yang paling sering ia tulis adalah Jeany nama sahabat yang menjadi satu-satunya cahaya dalam kegelapan.

Percakapan di Ruang Kunjungan

Setiap bulan, Jeany terbang ke Bangkok. Mereka bertemu di ruang kunjungan, dipisahkan kaca tebal, berbicara lewat telepon kecil.

Suatu hari, Ling Ling menempelkan tangannya ke kaca.
Wajahnya kurus, matanya cekung, tapi senyumnya tetap hangat.

> Ling Ling: “Jeany, aku takut suatu hari kamu akan bosan menjengukku.”

Jeany: “Bosan? Ling, aku rela datang tiap hari kalau diizinkan. Kamu nggak ngerti betapa berharganya kamu buatku.”
Ling Ling: (terisak)

“Kalau bukan kamu, aku mungkin sudah gila di sini.”
Jeany: “Kamu harus kuat, Ling. Aku sedang bicara dengan beberapa organisasi HAM. Percayalah, masih ada harapan.”
Ling Ling: “Harapan itu kamu, Jeany. Kalau suatu hari aku tidak bisa keluar dari sini, aku cuma ingin kamu tahu… aku bersyukur Tuhan mengirimkan sahabat sepertimu.”

Kata-kata itu menusuk hati Jeany. Malamnya, ia menangis sampai tertidur.

Keluarga Jeany Ikut Terlibat

Ayah Jeany, seorang pengusaha berpengaruh, memanfaatkan segala koneksi. Ia bertemu pejabat, diplomat, bahkan mengeluarkan dana besar untuk mengupayakan keringanan hukuman.

Ibunya juga ikut mendampingi. Dalam hati kecilnya, ia sudah menganggap Ling Ling sebagai anak sendiri.

> “Kalau bukan karena Jeany, Ling Ling mungkin tidak bisa kuliah. Kita punya tanggung jawab moral padanya,” ucap sang ibu.

Namun kenyataan pahit sulit diubah. Hukum Thailand tidak main-main terhadap narkotika. Semua banding ditolak.

Surat Terakhir (untuk saat ini)

Beberapa tahun berlalu. Rambut Ling Ling mulai memutih, tubuhnya semakin kurus. Tapi ia tetap menulis surat untuk Jeany.

> Untuk Jeany, sahabatku…

Hari ini aku melihat seekor burung kecil hinggap di jendela penjara. Ia bebas, bisa terbang ke mana saja.

Aku menutup mata, membayangkan kita berdua duduk di pantai Bangka, makan otak-otak, tertawa seperti dulu.

Jeany, kalau pun aku harus menua di sini, aku tidak menyesal pernah mengenalmu. Persahabatanmu adalah hadiah terbesar dalam hidupku.

Jangan berhenti hidup hanya karena aku terkurung. Pergilah, wujudkan mimpimu.

Aku akan selalu ada di dalam hatimu.

Sahabatmu,
Ling Ling

Jeany menangis membaca surat itu. Ia berjanji dalam hati:

> “Aku tidak akan menyerah. Selama aku masih hidup, aku akan mencari jalan membebaskanmu.”

Ada awal ada akhir
Kisah persahabatan Ling Ling dan Jeanny saat mereka berlibur di Singapura s
Semasa libur kuliah
Tak dinyana pertemuan dengan Jefry di atas pesawat yang menawarkan ticket dan Hotel di Bangkok mendatangkan mala petaka

Karena titipan barang berupa tas wanita ke tangan Ling Ling
Ternyata berisi Narkoba

Hingga kini,
Ling Ling masih berada di balik jeruji penjara Bangkok.

Jeany tetap setia datang, tetap setia berjuang.

Waktu mungkin merenggut kebebasan Ling Ling, tapi tidak bisa merenggut persahabatan mereka.

Di dunia yang penuh tipu daya, mereka membuktikan bahwa cinta dan persahabatan sejati bisa bertahan, bahkan di balik tembok penjara yang paling kelam sekalipun.

Catatan : Cerpen ini diangkat dari kisah nyata seorang sahabat dan cerita ini pun ada kemiripan dengan kisah sebuah film layar lebar
Dan rasanya masih banyak kasus kejadian yang mirip
Karrna orang titip barang ternyata isinya narkoba

Www.kris.or.id
Www.adharta.com