Cerpen 004
Medio Agustus 2025

Oleh : Adharta
Ketua Umum
KRIS

Ruang Putih yang Membuka Luka

Suara mesin medis berdengung pelan.

Di ranjang putih itu,
Marbun terbaring pucat. Tangannya penuh selang infus.

Aminah berdiri di sampingnya, menatap dengan mata yang tidak bisa ia kendalikan
antara iba dan benci.

“Kenapa harus kau yang jadi pasienku?” gumam Aminah.

Marbun membuka mata perlahan. Senyum samar muncul di wajahnya.

“Jangan khawatir, Min. Kalau aku mati, kau pasti bahagia.”

Aminah tersentak. Ia ingin marah, tapi bibirnya justru gemetar

“Jangan bicara begitu. Kau tahu aku… aku tidak akan pernah bahagia melihatmu rapuh.”

Marbun menatapnya, lama sekali.
“Itu artinya kau peduli?”

Aminah menunduk, pura-pura merapikan selimut.

“Jangan salah tafsir. Aku hanya menjalankan tugas sebagai perawat.”

“Tugas?” Marbun tersenyum getir. “Kalau begitu, semoga aku tetap sakit, supaya kau terus di sini.”

Aminah menelan ludah. Kata-kata itu bagai panah.

Ia ingin membantah, tapi dadanya terlalu sesak.

Luka yang Membuka Rindu

Malam itu, hujan turun deras. Aminah kembali masuk ke ruangan Marbun untuk mengecek kondisinya.
Ia mengira Marbun sudah tidur, tetapi ternyata lelaki itu terjaga, menatap keluar jendela.

“Kau belum tidur?” tanya Aminah, pelan.

“Aku takut tidur,” jawab Marbun tanpa menoleh.

“Takut apa?”

“Takut tidak bangun lagi. Takut tak sempat melihat wajahmu besok.”

Aminah terdiam. Dadanya berdebar keras. Ia ingin menjawab dingin, tapi suaranya justru bergetar

“Kenapa wajahku yang kau tunggu? Bukankah banyak orang mencintaimu di luar sana?”

Marbun menoleh. Matanya basah, entah oleh air mata atau cahaya lampu.

“Justru karena semua orang mencintaiku, aku ingin tahu… adakah yang benar-benar membenciku, tapi diam-diam tetap tinggal di sisiku?”

Aminah terperangah. Kata-kata itu menelusup ke ruang hatinya yang paling rapuh.

Ia ingin berkata, “Aku benci sekaligus mencintaimu,” tapi bibirnya kelu.

Ia hanya berbisik, “Tidurlah. Kau butuh istirahat.”

Namun saat ia berbalik, Marbun menahan tangannya.
“Min… kalau suatu hari aku tidak ada, jangan hapus aku dari bencimu.
Biarlah aku hidup di sana.”

Aminah tak mampu lagi menahan air matanya.
Ia pergi dengan langkah tergesa, menyembunyikan wajahnya yang basah.

Di Antara Kehilangan

Ketika Yenny, istri Marbun, meninggal dunia, Aminah ikut berdiri di sampingnya. Ia melihat bagaimana lelaki itu runtuh, menangis tanpa suara.

“Bun…” panggil Aminah lirih.

Marbun menoleh dengan mata sembab. “Kau senang, kan? Akhirnya aku benar-benar kalah.”

Aminah menggeleng, air matanya ikut jatuh. “Tidak ada yang membuatku senang melihatmu hancur begini.”

“Tapi ada bagian dirimu yang lega, kan?” desak Marbun dengan pahit.

Aminah tidak menjawab. Ia hanya menunduk. Karena memang benar di balik simpati, ada rasa aneh yang tak bisa ia pahami.

Pesan Terakhir

Hari terakhir Marbun di rumah sakit, ia memberikan buku catatan bersampul cokelat itu. Aminah membacanya dengan gemetar.

“Terima kasih atas segala perhatianmu.
Aku tahu kamu sangat membenciku.
Aku tidak tahu apa penyebabnya.
Tapi tidak apa-apa.
Cintailah aku dalam bencimu.”

Air mata Aminah jatuh, membasahi kertas.

Ia menutup buku itu dan menatap Marbun dengan pandangan yang tak pernah ia tunjukkan sebelumnya.

“Bun… andai benci ini bisa kutukar dengan cinta, mungkin aku sudah melakukannya sejak lama.”

Marbun tersenyum lemah.

“Tidak usah ditukar, Min. Biar saja tetap begitu. Karena dalam bencimu, aku justru merasa dicintai.”

Aminah menunduk, menggenggam buku itu erat di dadanya.
“Aku membencimu, Bun… tapi jangan pernah hilang dari hidupku.”

“Tenang,” jawab Marbun pelan. “Aku akan selalu ada. Di tempat yang paling kau benci.”

Mungkin kata Djiong (membenci tapi mencintai)

Setelah keluar dari rumah sakit, mereka kembali pada kehidupan masing-masing. Marbun dengan panggung politiknya, Aminah dengan dunia medisnya. Mereka tidak pernah bersatu, tidak pernah saling mengucap cinta.

Tetapi setiap kali malam hening, keduanya tahu: ada seseorang di suatu tempat yang sedang memikirkan mereka.

Bukan dengan kasih yang manis, melainkan dengan perasaan rumit
benci yang menyimpan rindu, cinta yang menyamar sebagai luka.

Dan begitulah mereka menjalani hidup, hingga tua nanti.
Tidak pernah benar-benar bersama. Tidak pernah benar-benar berpisah.

Hanya satu kalimat yang abadi di antara mereka:

“Cintailah aku dalam bencimu.”

Adharta

Www.kris.or.id
Www.adharta.com