Cerpen 007

Oleh : Adharta
Ketua Unun KRIS

Kisah ini kupersembahkan buat anak cucuku
Dan para sahabat Pilot

Menatap masa depan

Tahun 1980. Udara di Tangerang masih bersih dan lengang, jauh berbeda dengan hiruk-pikuk kota metropolitan Jakarta yang hanya berjarak beberapa puluh kilometer.

Di sinilah Jimmy menapaki jejak hidupnya sebagai taruna muda Sekolah Tinggi Penerbangan Indonesia,

Curug
Tak seorang pun menduga, anak kampung yang dulu hanya putra seorang pegawai negeri kecil di Surabaya itu, kelak akan dikenal sebagai sosok pilot tangguh yang mengabdi tidak hanya untuk keluarganya, tetapi juga bagi bangsa Indonesia.

Asal-Usul Sederhana
Jimmy lahir sebagai anak kedelapan dari sepuluh bersaudara. Ayahnya seorang pegawai negeri sederhana, ibunya membuka warung kecil di depan rumah untuk menambah penghasilan.

Hidup mereka jauh dari kata cukup.
Sering kali Jimmy kecil harus menahan lapar karena nasi hanya cukup untuk kakak-kakaknya.

Namun, dari kerasnya hidup itulah ia belajar arti ketekunan.
Sejak SMP, Jimmy sadar bahwa untuk bisa keluar dari lingkaran kemiskinan, ia harus bersekolah setinggi-tingginya.

Namun harapan itu bagai mimpi. Bagaimana mungkin orang tua dengan sepuluh anak bisa membiayai kuliah semuanya?

Bahkan, salah satu kakaknya yang berhasil kuliah di sebuah universitas swasta di Jakarta, harus bekerja serabutan untuk membayar biaya kuliah sendiri.

Namun tekad Jimmy tidak pernah surut. Setelah lulus SMA di Surabaya, ia berangkat ke Jakarta bersama dua sahabatnya, Freddy dan Johnny.
Mereka bertiga menumpang kereta ekonomi, membawa tas kecil, dan sejuta mimpi di kepala.
Hidup di Jakarta

Jakarta menyambut mereka dengan wajah keras. Mereka harus bekerja sambil mencari peluang sekolah. Freddy dan Johnny beruntung, mereka diterima di universitas swasta dengan bantuan keluarga.
Jimmy tidak seberuntung itu. Ia mencoba mendaftar di beberapa universitas, tetapi biaya menjadi tembok penghalang.
Untuk bertahan hidup, Jimmy bekerja sebagai sopir taksi gelap di kawasan Gajah Mada, tepat di depan klub malam Blue Ocean di Jalan Hayam Wuruk.

Malam demi malam ia berkeliling kota, menjemput tamu asing, pejabat, hingga pengunjung klub. Kehidupan keras di jalanan membuat Jimmy semakin matang menghadapi dunia.
Suatu malam, nasib mempertemukannya dengan seorang penumpang istimewa: seorang perwira tinggi TNI bernama
Kolonel Suryadi. Percakapan singkat di dalam mobil itu membuka jalan baru.
Melihat kejujuran dan kesopanan Jimmy, Suryadi menawarinya pekerjaan sebagai sopir pribadi keluarganya. Tanpa pikir panjang, Jimmy menerima.
Menjadi Bagian Keluarga
Sejak hari itu, Jimmy tinggal bersama keluarga Suryadi di Kebayoran Baru.

Di sana, ia bertemu dengan Budi, putra Suryadi yang seusia dengannya. Meski Jimmy hanya seorang sopir, Budi tidak pernah memandang rendah.

Mereka justru menjadi sahabat karib.
Budi bercita-cita menjadi pilot dan mendaftar di STPI Curug. Jimmy yang setia mengantarnya ke kampus, suatu hari bertemu dengan dosen bernama Pak Megi. Pertemuan itu unik

mobil Pak Megi mogok, dan Jimmy dengan sigap menawarkan tumpangan ke Jakarta.

Dari situlah hubungan baik terjalin. Pak Megi, kagum dengan sikap tulus Jimmy, menawarkan beasiswa terbatas agar ia bisa juga bersekolah di STPI.
Jimmy hampir tak percaya. Dari seorang sopir taksi gelap, kini ia punya kesempatan menjadi taruna penerbangan. Keluarga Suryadi menyambut kabar itu dengan sukacita.

Bahkan, mereka menganggap Jimmy sudah seperti anak sendiri.
Taruna Teladan
Hari-hari di STPI Curug menjadi masa terindah sekaligus terberat.

Jimmy belajar dengan giat, tak ingin menyia-nyiakan kesempatan. Ia dan Budi sama-sama menjadi taruna teladan, disegani karena kedisiplinan dan kecerdasannya.
Setelah lulus,

Budi melanjutkan sekolah penerbangan untuk memperoleh CPL (Commercial Pilot License). Jimmy, sementara itu, tetap membantu Pak Suryadi yang saat itu naik jabatan di TNI AU.

Dari sanalah jalannya semakin terbuka.
Jimmy kemudian direkrut menjadi perwira muda TNI AU, menjalani pendidikan khusus di Halim Perdanakusuma. Dari langit, ia menemukan panggilannya.

Ia bukan hanya mengendarai pesawat, tetapi juga merasakan makna mengabdi untuk negeri.
Misi di Papua
Salah satu pengalaman yang membekas adalah ketika Jimmy ditugaskan membawa pesawat kargo ke Wamena, Papua, untuk mengantar bahan makanan. Daerah itu sulit dijangkau, dan pesawat kerap menjadi satu-satunya jalur suplai.
Di sana ia bertemu Ratna, seorang dokter muda lulusan Universitas Indonesia yang sedang menjalani tugas pengabdian. Perjumpaan pertama sederhana, namun meninggalkan kesan mendalam. Ratna kagum pada keberanian Jimmy, sedangkan Jimmy terpesona oleh ketulusan Ratna merawat pasien di pelosok.
Pertemuan demi pertemuan membuat benih cinta tumbuh. Meski kehidupan mereka keras, keduanya merasa menemukan pasangan sejiwa.

Dengan restu keluarga Suryadi yang menggantikan orang tua Jimmy yang sudah wafat
mereka akhirnya menikah.
Keluarga yang Hangat
Jimmy dan Ratna membangun rumah tangga sederhana di Kemayoran. Kehidupan mereka penuh kehangatan. Anak pertama, Andi, tumbuh cerdas dan bercita-cita menjadi diplomat.

Anak kedua, Maya, mewarisi jiwa ibunya dan ingin menjadi dokter.
Makan malam selalu menjadi momen penting. Ratna menyiapkan masakan sederhana, Jimmy bercerita tentang pengalaman terbang, dan anak-anak berbagi kisah sekolah.

Gelak tawa memenuhi rumah mereka.
Di balik kesibukan sebagai pilot dan dokter, keluarga ini selalu menemukan waktu untuk saling mendukung.
Dari Militer ke Komersial
Setelah beberapa tahun mengabdi di TNI AU, Jimmy memutuskan beralih ke penerbangan komersial. Ia bergabung dengan maskapai nasional, namun tetap dipanggil untuk misi khusus pemerintah, terutama yang berhubungan dengan diplomasi udara dan bantuan kemanusiaan.
Ia pernah terlibat dalam misi Garuda di Timur Tengah, membawa pasukan perdamaian Indonesia. Baginya, meski sudah bukan tentara aktif, jiwa pengabdian tidak pernah pudar.
Mengabdi Lewat Usaha
Kesuksesan tidak membuat Jimmy lupa asal. Ia mendirikan lembaga pelatihan penerbangan kecil di pinggiran Jakarta, khusus untuk anak-anak dari keluarga tidak mampu. “Kalau dulu saya bisa mendapat kesempatan, mengapa tidak saya teruskan untuk orang lain?” katanya.
Ratna pun mendirikan klinik swadaya untuk masyarakat miskin.

Klinik itu melayani pasien dengan biaya sukarela. Mereka berdua menjadikan keberhasilan bukan hanya milik keluarga sendiri, tetapi juga jalan untuk memberdayakan sesama.
Cetama E9ka Tayai
Di setiap kesempatan, Jimmy selalu mengingatkan anak-anak dan para taruna muda tentang semboyan yang ia pegang:

“Cewama Eka tayai
Mengabdi untuk persatuan.”

Baginya, persatuan bukan hanya untuk negara, tapi juga untuk keluarga, sahabat, dan masyarakat. Mengabdi tidak harus selalu di medan perang, tapi juga lewat kasih, ketulusan, dan berbagi kesempatan.

Penutup
Di usia senja, Jimmy duduk di beranda rumahnya bersama Ratna. Cucu-cucunya berlarian di halaman, Andi sudah menjadi diplomat muda yang bertugas di luar negeri, sementara Maya tengah menjalani pendidikan dokter spesialis.
Jimmy tersenyum haru. Dari anak kampung yang nyaris tak mampu kuliah, ia kini melihat generasi penerusnya berdiri dengan gagah. Ia berbisik kepada Ratna,

“Hidup ini adalah pengabdian. Kita mungkin lahir sederhana, tapi jika hati kita ikhlas untuk mengabdi, hidup akan menjadi cerita indah yang bermanfaat bagi bangsa.”

Ratna menggenggam tangannya erat. Sore itu, langit Jakarta berwarna jingga, seakan mengamini perjalanan panjang seorang manusia yang setia pada semboyan hidupnya

Cewama Eka tayai Mengabdi untuk persatuan.

Www.kris.or.id
Www.adharta.com