Oleh : Adharta
Ketua Umum
KRIS
Jakarta
Selasa
12 Agustus 2025
Alor
Mutiara dari Timur
Kalau kau berdiri di tepian Teluk Kalabahi pada pagi hari, engkau akan mengerti mengapa Alor disebut mutiara ari Timur
Nusa Tenggara Timur.
Airnya yang biru, bening seperti kaca, memantulkan langit yang masih malu-malu berwarna jingga. Perahu-perahu nelayan bergerak pelan, seolah tak ingin membangunkan laut yang masih tidur.
Di kejauhan, bukit-bukit hijau memeluk kota kecil ini dengan kasih yang diam-diam tapi hangat.
Di sinilah aku lahir di Pulau Alor, tepatnya di Kota Kalabahi. Kota kecil yang menjadi jantung dari kabupaten yang cantiknya seperti lukisan, tapi berdenyut dengan kehidupan sederhana. Orang menyebut Kalabahi sebagai kota kenari, kota kemiri, kota vanila.
Sebutan itu bukan sekadar hiasan kata; sejak dulu, tanah Alor menumbuhkan pohon-pohon kenari yang kokoh, kemiri yang harum, dan vanila yang manis aromanya.
Bagi anak-anak Kalabahi, aroma kemiri yang sedang disangrai bukan hanya pertanda ada yang sedang membuat sambal, tapi juga aroma rumah sesuatu yang membuat hati pulang, meskipun kau sudah pergi jauh.
Mangga Kelapa Alor
Tapi kalau kau tanya orang dari luar, mungkin mereka akan langsung bicara tentang mangga kelapa Alor.
Namanya saja sudah unik, tapi rasanya… ah, rasanya adalah perpaduan manis dan segar yang membuatmu ingin memakannya di bawah pohon sambil memandang laut. Daging buahnya tebal, bijinya kecil, dan aromanya khas. Konon, siapa pun yang pernah mencicipinya akan selalu merindukan Alor, entah dia sadar atau tidak.
Di pasar Kalabahi, saat musim mangga tiba, bau harum mangga kelapa bercampur dengan aroma laut dari ikan-ikan segar yang baru diangkat.
Semua orang saling menyapa, bercanda, menawar harga, dan saling bertukar kabar. Pasar bukan sekadar tempat belanja ia adalah ruang di mana cerita dan tawa beredar seperti angin.
Lumba-Lumba di Laut Alor
Alor bukan hanya indah di darat; lautnya adalah dunia lain yang penuh kejutan.
Pernah suatu pagi, aku diajak paman naik perahu menuju perairan yang katanya sering dilewati lumba-lumba. Matahari baru setengah naik, air laut masih tenang, dan angin membawa aroma garam yang segar.
Tak lama, dari kejauhan, muncul gerombolan lumba-lumba. Mereka melompat-lompat seperti sedang bermain kejar-kejaran dengan ombak. Tubuh mereka berkilau terkena sinar matahari, dan suaranya seperti tawa yang datang dari laut.
Melihat lumba-lumba di Alor bukan hal yang langka, tapi setiap kali melihatnya, hatiku selalu berdebar seperti pertama kali.
Kijang Kencana dan Paus yang Bernyanyi
Kalau lumba-lumba adalah para penari ceria laut Alor, maka Kijang Kencana adalah tamu istimewanya. Ikan ini, dengan tubuh ramping dan gerakan cepat, sering muncul di perairan tertentu. Orang lokal mengenalnya dengan baik, seakan-akan ia adalah bagian dari keluarga besar yang sesekali pulang berkunjung.
Namun, ada satu pengalaman yang tak semua orang bisa dapatkan: mendengar paus bernyanyi.
Pernah, saat ikut rombongan nelayan jauh ke tengah laut, kami bertemu paus. Tubuhnya raksasa, tapi gerakannya lembut, seperti ombak besar yang hidup. Dan kemudian, terdengar suara rendah yang dalam nyanyian paus.
Bunyi itu merambat melalui air dan entah bagaimana terasa sampai ke dada. Rasanya seperti sedang mendengarkan rahasia tua dari samudera.
Alor yang Cantik
Kecantikan Alor bukan hanya pada lautnya. Gunung dan bukit yang hijau mengelilingi kota, jalan-jalan kecil yang menanjak dan berliku memberi pemandangan ke teluk yang selalu berubah warna tergantung cahaya matahari. Rumah-rumah berjejer rapi, sebagian dengan atap seng yang berkilau di bawah matahari tropis.
Di desa-desa, sawah dan kebun berpadu dengan hutan. Pohon kelapa berdiri berderet, memberi bayangan di tengah panas siang.
Di beberapa tempat, pohon kenari yang sudah puluhan tahun berdiri kokoh, menjadi saksi perjalanan generasi demi generasi.
Orang-orang Alor ramah dan terbuka. Mereka tidak pernah pelit senyum, dan selalu siap membantu meski hanya kenal sebentar. Budaya saling sapa begitu kuat di sini. Bahkan jika bertemu orang asing di jalan, sapaan “Selamat pagi” atau “Mau ke mana?” hampir pasti terdengar.
Kalabahi, Kota Kecil yang Menghangatkan
Kalabahi memang kecil, tapi setiap sudutnya menyimpan cerita. Dari dermaga lama tempat anak-anak memancing, hingga jalan-jalan sempit yang dipenuhi warung makan sederhana. Di malam hari, angin laut membawa suara obrolan dari warung kopi.
Kota ini punya ritme hidup yang tenang. Tidak ada kemacetan panjang, tidak ada suara bising kota besar. Tapi jangan salah, di balik ketenangannya, Kalabahi menyimpan semangat hidup yang kuat. Orang-orang bekerja keras di ladang, di laut, atau di pasar, tapi selalu punya waktu untuk berkumpul bersama keluarga.
Kenangan Masa Kecil
Sebagai anak yang lahir di Kalabahi, masa kecilku diisi dengan berlari di tepi pantai, memanjat pohon mangga kelapa, dan membantu nenek menjemur biji kemiri di halaman. Aku ingat bagaimana kami anak-anak sering mandi di laut sampai kulit terbakar matahari, lalu pulang dengan rambut basah dan perut lapar.
Malam hari, listrik belum selalu menyala sepanjang waktu, jadi kami sering duduk di luar rumah, memandangi langit yang dipenuhi bintang. Di Alor, bintang terasa begitu dekat, seakan-akan kau bisa meraihnya dengan tangan. Kadang ayah bercerita tentang sejarah pulau ini, tentang kapal-kapal dari jauh yang pernah singgah, dan tentang adat istiadat yang dijaga turun-temurun.
Budaya yang Hidup
Alor juga dikenal dengan keberagaman budayanya. Ada puluhan bahasa daerah di sini, masing-masing dengan ciri khasnya. Musik dan tarian tradisional sering dipertunjukkan saat acara adat atau penyambutan tamu. Bunyi gong dan gendang, gerakan kaki yang teratur, dan senyum para penari membuat suasana terasa hangat.
Tenun ikat Alor adalah salah satu kebanggaan terbesar. Kainnya berwarna cerah, motifnya penuh makna. Setiap tenunan menceritakan kisah tentang leluhur, alam, dan kehidupan. Aku pernah melihat nenek-nenek duduk berjam-jam di bawah pohon, menganyam benang demi benang dengan sabar, seakan waktu berhenti mengikuti ritme tangan mereka.
Pulau yang Mengajarkan Arti Pulang
Ingat lagu
Mai faliye
Atau
Mama panggil pulang
Bagi sebagian orang, Alor mungkin hanya destinasi wisata indah dengan laut yang memukau. Tapi bagi aku, ia adalah rumah. Tempat yang membentukku, mengajariku arti sederhana dari kebahagiaan: udara segar, makanan yang tumbuh di tanah sendiri, laut yang selalu terbuka, dan orang-orang yang menjaga satu sama lain.
Meski aku kini tak selalu tinggal di sana, setiap kali menyebut kata “Alor”, ada kehangatan yang mengalir. Seperti angin laut yang bertiup pelan di sore hari, membawa aroma kemiri, kenari, dan vanila. Seperti rasa manis mangga kelapa yang membuat lidah tersenyum. Seperti nyanyian paus yang entah mengapa membuat hati terasa damai.
Alor adalah cerita yang tak pernah selesai.
Ia terus bercerita lewat ombak, lewat tanahnya yang subur, lewat senyum orang-orangnya, dan lewat kenangan masa kecil yang tak pernah pudar. Dan setiap kali aku menutup mata, aku bisa melihat Kalabahi di kejauhan — kota kecil yang memelukku sejak lahir, kota yang akan selalu kucintai sampai kapan pun.
Ditulia ulang oleh
Adharta
Ketua dewan Pembina IKO
Ikatan Keluarga Ombai
Buat semua keluarga ALOR
Sahabat pecinta alam
Www.kris.or.id
Www.adharta.com