“Langkah Langkah Sekar di Kota Beton”

Oleh : Adharta
Ketua umum
KRIS

Cerpen nomor 0029

Desember 2025

Kisah perjuangan
Sekar lahir dan tumbuh di sebuah desa kecil di lereng Gunung Wilis, Jawa Timur.

Hidupnya sederhana rumah kayu berdinding papan, suara tonggeret setiap sore, dan aroma tanah basah setelah hujan. Kedua orang tuanya, Sumarno dan Sulastri, adalah petani kecil yang mengajarinya tentang kerja keras dan kejujuran.
Sejak kecil, Sekar sering membantu ibunya menanam cabai dan memanen jagung, sementara ayahnya mengajarinya membaca koran bekas yang dibawanya dari warung kopi.

Ketika Sekar menginjak SMA, ia mulai menyimpan satu mimpi
merantau ke Jakarta. Baginya, Jakarta bukan hanya kota besar yang penuh hiruk-pikuk, tetapi juga simbol kesempatan.

Ayahnya selalu berkata, “Orang kecil hanya kalah kalau berhenti berusaha.” Kalimat itu menempel di hatinya seperti cap yang tak mungkin hilang.
Namun takdir tidak selalu berjalan lurus. Pada suatu malam ketika Sekar kelas tiga SMA, ayahnya meninggal mendadak karena serangan jantung.
Dunia Sekar runtuh. Ibunya, yang sejak lama sakit-sakitan, semakin melemah dan akhirnya menyusul suaminya setahun kemudian.
Sekar menjadi benar-benar sendiri tanpa harta, tanpa keluarga inti, hanya dengan mimpi yang masih ia genggam erat.

Menuju Jakarta

Setelah lulus SMA, Sekar memutuskan merantau. Dengan uang tabungan hasil bekerja di warung makan di desa dan sedikit bantuan dari pakliknya, ia naik bus menuju Jakarta. Perjalanan sembilan belas jam itu terasa seperti perpindahan hidup dari udara pegunungan yang dingin menuju panasnya kota beton.
Ia tinggal di sebuah kamar kos sempit di daerah Kramat.

Kamarnya hanya cukup untuk tempat tidur tipis, kipas angin, dan satu meja kecil yang dibelinya dari pasar loak. Namun bagi Sekar, itu sudah lebih dari cukup; itu adalah langkah pertamanya menuju masa depan.
Hari-harinya dimulai pukul lima pagi. Ia bekerja sebagai pelayan di restoran kecil dari pukul enam sampai dua sore. Setelah itu, ia berangkat ke kampus swasta tempat ia mengambil jurusan Manajemen.

Pulang kuliah pukul sembilan malam, kemudian belajar hingga larut.
Terkadang ia hanya tidur tiga jam, tetapi semangatnya tak pernah padam.
Masa-masa itu berat. Ia pernah hampir pingsan karena kelelahan.

Pernah juga pulang sambil menangis saat tidak punya cukup uang untuk membayar fotokopi modul. Namun setiap kali ia ingin menyerah, ia mengingat wajah ayah dan ibunya. “Kalau aku berhenti, aku menghianati perjuangan mereka.”

Sekar
Gagal dalam Cinta

Di tengah perjuangannya, Sekar bertemu Rafi
seorang senior kampus yang ramah dan penyayang. Mereka berpacaran selama satu tahun.
Rafi menjadi sosok yang membuat Sekar merasa tidak sendirian.
Namun hubungan itu tidak bertahan lama
Rafi harus pindah ke Surabaya karena pekerjaan keluarganya. Hubungan jarak jauh tak berjalan baik
komunikasi terputus, janji tak lagi ditepati, sampai akhirnya mereka berpisah dalam sunyi.
Setelah itu, muncul seorang rekan kerja bernama Dimas. Ia humoris, perhatian, dan sering mengantar Sekar pulang.

Sekar mulai membuka hatinya lagi. Namun, suatu malam Sekar melihat Dimas makan malam dengan seorang perempuan
ternyata kekasihnya yang sudah lama menjalin hubungan.
Sekar mundur perlahan, menelan luka untuk kedua kali.
Beberapa tahun kemudian, ada pula Rangga, teman sekelas yang pandai dan ambisius. Mereka sempat dekat dan saling mengagumi. Namun Rangga lebih memilih karier dan ingin berkonsentrasi pada bisnis yang sedang ia bangun.

“Aku belum siap berkomitmen,” katanya.
Sekar hanya tersenyum.
Ia sudah cukup sering terluka untuk tahu kapan harus melangkah pergi.

Sekar belajar satu hal cinta bisa menjadi kekuatan, tapi juga bisa menjadi beban. Ia memilih untuk tetap berjalan, karena hidup telah mengajarinya bahwa harapan tidak selalu datang dari seseorang
sering kali datang dari dirinya sendiri.
Titik Terendah dan Titik Balik
Tahun ketiga kuliah adalah masa tersulit.

Gaji di restoran tidak naik, sementara biaya kuliah meningkat. Sekar hampir memutuskan berhenti kuliah.
Ia menatap langit malam dari jendela kosnya, menahan air mata.
“Ibu… bapak… apa aku harus menyerah?”

Namun keesokan harinya, dosen pembimbingnya memanggil dan menawarkan Sekar pekerjaan paruh waktu sebagai asisten akademik.

Pekerjaan itu tidak hanya membantu secara finansial, tetapi juga membuat Sekar merasa dipercaya dan dihargai.
Ia menerimanya tanpa ragu.
Selain itu, ia juga mulai membuka jasa pengetikan dan desain CV dan tesis
untuk mahasiswa lain. Penghasilannya perlahan meningkat. Dalam kesibukan itu, ia menemukan kembali kekuatannya: kemampuan bertahan.

Saat Wisuda

Hari yang paling ia tunggu akhirnya datang. Setelah lima tahun penuh perjuangan, air mata, dan kelelahan,
Sekar berdiri di Balai Kartini dengan toga hitam, wajah ceria, dan hati yang menggebu. Ketika namanya dipanggil untuk menerima gelar sarjana, ia menahan tangis.

“Untuk bapak dan ibu,” bisiknya pelan.
Tidak ada keluarga yang datang menghadiri wisudanya. Namun teman-temannya berkumpul di sekitar, membawa bunga, memeluknya dengan bangga. Di tengah kerumunan itu, Sekar menatap ke atas.
Langit Jakarta yang suram tiba-tiba terasa hangat.

Foto-foto wisudanya ia cetak dan simpan dalam sebuah album kecil.
Di halaman pertama ia menulis:
“Jika kau tak punya siapa pun yang percaya padamu, jadilah orang pertama yang mempercayai dirimu sendiri.”

Setelah Wisuda
Dengan gelar sarjana dan pengalaman kerja

Bertahun-tahun, Sekar diterima di sebuah perusahaan logistik dan project movement dan shipping
sebagai staf administrasi. Gajinya jauh lebih baik daripada sebelumnya.
Ia bisa pindah ke kos yang lebih layak, mulai menabung, bahkan mengirim sedikit uang kepada pakliknya di desa yang dulu membantunya.

Dalam perjalanan hidupnya, Sekar bertemu banyak orang, belajar tentang berbagai jenis manusia, tentang ketidakpastian hidup, dan tentang keberanian untuk tetap berdiri meski angin berusaha menjatuhkan.

Cinta? Itu urusan belakangan. Sekar tidak lagi terburu-buru. Ia percaya bahwa ketika waktunya tepat, Tuhan akan mempertemukan ia dengan seseorang yang tidak hanya mengisi hidupnya, tetapi juga berjalan bersamanya dalam setiap langkah.

Kasih di akhir perjuangan
Perjalanan Sekar bukanlah cerita tentang kemenangan besar, tetapi tentang kemenangan kecil yang dikumpulkan hari demi hari.
Ia tidak lahir dari keluarga kaya, tidak punya keistimewaan selain tekad, dan tidak dihiasi keajaiban seperti dalam dongeng.

Namun hidupnya menjadi bukti bahwa setiap mimpi bisa tumbuh bahkan dari tanah yang paling gersang.

Di kota yang sering menggilas mimpi banyak orang, Sekar berdiri tegak sebagai seorang sarjana yang lahir dari perjuangan panjang.
Ia bukan lagi gadis desa yang takut melangkah; ia adalah perempuan muda yang mengenal dunia, memahami arti luka, dan tetap memilih untuk tidak menyerah.

Dan dari semua perjalanan itu, Sekar tahu satu hal ia telah menjadi harapan bagi dirinya sendiri.

Www.kris.or.id

Www.adharta.com

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *