SYENI
Cerpen no 0028
Oleh : Adharta
Ketua Umum
KRIS
Minggu pertama Desember 2025
Gadis pejuang
Hujan turun sejak pagi, membasahi gang-gang kecil tempat toko batik milik keluarga Syeni berdiri sejak dua puluh tahun lalu di tepi Kota Solo
Rintik itu seperti tirai tipis yang menggantung di langit tidak deras, tetapi cukup untuk membuat aspal tampak berkilau dan udara berbau tanah basah.
Di balik jendela kaca toko yang mulai berembun, Syeni duduk sambil memandangi etalase yang tampak semakin redup dimakan usia.
Syeni berusia dua puluh tiga tahun, namun tatapannya lebih dewasa dari usianya.
Hidup membuatnya belajar banyak hal bagaimana menjaga usaha keluarga sejak ayahnya sakit, bagaimana menahan rindu yang tak pernah tersampaikan, dan bagaimana tetap tersenyum meski hatinya rapuh seperti kain sutra yang terlalu sering diremas.
Ayahnya dulu seorang pengukir kayu kenamaan di kampung itu, terkenal karena ukirannya yang halus dan berjiwa.
Namun sejak penyakit paru-paru menggerogoti tubuhnya, ia lebih sering terbaring di kamar, ditemani suara batuk dan obat yang sudah tak terhitung jumlahnya. Ibunya mengurus ayah siang malam, sementara Syeni memikul beban toko seorang diri.
Toko batik itu kecil, tetapi penuh cerita. Setiap motif di sana memiliki kisah ada motif parang tua milik nenek buyutnya, motif mega mendung yang diwariskan dari paman ibunya, hingga motif kontemporer hasil desain Syeni sendiri. Namun di balik warna-warni kain yang tergantung rapi itu, Syeni menyimpan kepedihan yang jarang ia ceritakan kepada siapa pun.
Suatu sore, ketika cahaya matahari mulai merembes masuk di antara tirai hujan, pintu toko terbuka dan seorang lelaki muda melangkah masuk.
Suaranya tenang, langkahnya mantap, dan matanya tajam namun hangat.
“Permisi… apakah ada batik motif Lereng Parang edisi khusus?” tanyanya.
Syeni mengangkat wajahnya. “Ada, tapi tinggal satu lembar. Motif lama, sudah tidak diproduksi lagi.”
Lelaki itu tersenyum. “Bagus. Itu yang saya cari.”
Ia memperkenalkan dirinya sebagai Nara, seorang mahasiswa tingkat akhir yang sedang menyiapkan pameran seni tekstil untuk tugas akhirnya. Cara Nara berbicara berbeda dengan pelanggan lain dia mengamati setiap kain seperti meneliti ruh yang tersembunyi di balik warna dan garisnya. Ia menanyakan filosofi, sejarah, dan makna setiap detail batik yang dilihatnya.
“Kau bicara seperti batik ini hidup,” kata Nara sambil memegang selembar kain megamendung.
Syeni tersenyum kecil.
“Bagi ibuku, setiap batik memang hidup. Ia punya jiwa, punya napas, dan punya cerita.”
Mata Nara berbinar. “Saya senang mendengarmu bicara seperti itu.
Kau punya cara melihat dunia yang menarik.”
Sejak hari itu, Nara sering datang kadang untuk konsultasi desain, kadang sekadar berbincang sambil menyeruput teh jahe buatan ibu Syeni. Kehadirannya memberi warna baru dalam hari-hari Syeni yang sebelumnya hanya dipenuhi rutinitas dan kekhawatiran tentang ayahnya.
Di hadapan Nara, Syeni merasa dilihat.
Dan itu membuatnya takut sekaligus bahagia.
Suatu malam, ayah Syeni kambuh lagi. Suara batuknya menggema hingga depan toko, membuat Syeni berlarian sambil gemetar. Ibu memanggil ambulans, dan rumah sakit menjadi satu-satunya tempat yang mungkin menyelamatkannya.
Namun biaya rawat inap tak lagi masuk akal bagi keluarga mereka.
Di ruang tunggu rumah sakit yang sunyi, Syeni menggenggam tangan ibunya erat-erat.
“Bu, kita harus cari cara,” ujarnya, berusaha tetap tegar.
Ibunya mengangguk dengan mata berkaca-kaca. “Nenekmu dulu pernah bilang… kalau kita merawat hidup orang lain, Tuhan pasti merawat hidup kita.”
Keesokan paginya, Nara datang membawa buah tangan kecil.
Syeni menggeleng. “Kau tidak perlu datang…”
“Aku ingin memastikan ayahmu baik-baik saja,” kata Nara.
“Aku juga ingin membantu biaya rumah sakit.”
Syeni langsung menegang.
“Nara… aku tidak bisa menerima itu.”
“Kenapa tidak?”
“Karena aku tidak ingin hidupmu terbeban oleh keluargaku.”
“Aku melakukannya karena aku peduli.”
Syeni menggeleng keras, menahan air mata. “Justru itu yang membuatku takut.”
Nara terdiam lama. “Jadi… kau menolakku?”
“Aku menolak merasa berutang pada seseorang yang belum tentu akan tetap ada untukku.”
Ucapan itu seperti pisau yang memotong jarak di antara mereka.
Nara menunduk, menghela napas panjang, lalu melangkah pergi tanpa banyak kata.
Sejak itu ia tidak muncul lagi.
Hari-hari berikutnya seperti berjalan lambat dan berat.
Ayah Syeni akhirnya stabil setelah beberapa hari, tetapi Syeni merasa sepi.
Ia merindukan suara Nara, tawa kecilnya, pertanyaan-pertanyaan anehnya tentang motif batik, dan cara ia memandang dunia seolah semuanya mempunyai keindahan tersembunyi.
Saat Syeni kembali membuka toko, ia menemukan lembar batik Lereng Parang yang dulu dipilih Nara masih tergantung sendiri di sudut toko.
Ia memegangnya, membelai motifnya perlahan, seakan menyentuh kenangan yang masih tersisa.
Ibunya berdiri di belakangnya. “Dia belum datang lagi, ya?”
Syeni hanya menggeleng.
“Kau sayang sama dia?” tanya ibunya lembut.
Syeni terkejut. Wajahnya memerah.
“Bu… aku bahkan tidak tahu apa yang dia rasakan.”
Ibunya tersenyum tipis. “Hati perempuan tidak pernah salah membaca kehadiran.”
Syeni tidak menjawab.
Ia menunduk dan menatap kain di tangannya, sementara hatinya terasa berat seperti noda tinta yang tak bisa hilang dari selembar kain putih.
Malam pembukaan pameran Nara akhirnya tiba. Syeni sebenarnya tidak ingin datang ia takut melukai dirinya sendiri jika melihat Nara yang mungkin sudah berubah atau tidak peduli lagi.
Namun sesuatu di dalam dirinya mendorongnya untuk pergi.
Galeri seni itu ramai, penuh cahaya hangat dan pengunjung yang berbisik kagum.
Syeni berjalan perlahan di antara kerumunan, mencari-cari tanda kehadiran Nara.
Ketika sampai di sudut ruangan, matanya terpaku pada sebuah karya besar yang memukau. Sebuah lukisan yang menggambarkan siluet seorang perempuan memegang kain batik.
Wajahnya tidak tampak, tetapi tubuhnya cara ia berdiri, cara rambutnya jatuh semuanya sangat mirip dengan Syeni.
Di bawah lukisan itu tertulis:
“SYENI — Perempuan yang Menyimpan Cahaya.”
Langkah Syeni terhenti. Dadanya serasa diremas.
Ia menutup mulutnya dengan tangan, menahan tangis yang tiba-tiba meledak begitu saja.
“Ternyata kau datang.”
Syeni berbalik. Nara berdiri beberapa langkah di belakang, menatapnya dengan mata yang tidak pernah ia lupakan.
“Kau… menggambar ini?” suara Syeni hampir tak terdengar.
Nara mengangguk. “Aku menggambar dari ingatan. Dari semua percakapan kita. Dari cara kau memandang batik.
Dari keteguhanmu merawat keluargamu.
Dari cahaya yang selalu kau simpan meski dunia sering gelap untukmu.”
Air mata Syeni jatuh lagi. “Kenapa kau melakukan ini?”
“Karena kau adalah inspirasi dari semua yang aku kerjakan selama ini.”
Syeni menunduk, suaranya bergetar.
“Aku takut menerima bantuanmu. Takut menerima perasaanmu. Karena aku takut suatu hari kau pergi.”
Nara mendekat, pelan dan hati-hati. “Syeni… aku tidak datang untuk menjadi beban.
Aku datang karena aku ingin berada di sisimu.”
Syeni mengangkat wajahnya, matanya penuh luka dan harapan. “Aku tidak tahu apakah aku pantas untuk itu.”
Nara tersenyum lembut.
“Kau pantas dicintai, Syeni. Lebih dari yang kau bayangkan.”
Kerumunan orang menghilang dari pandangan Syeni.
Yang tersisa hanya dirinya dan Nara, berdiri di antara cahaya lampu galeri yang hangat.
Untuk pertama kalinya sejak ayahnya jatuh sakit bertahun-tahun lalu, Syeni merasakan dadanya lapang. Ia merasakan sesuatu yang selama ini ia lupakan
harapan yang sederhana, tetapi nyata.
Sejak malam itu, banyak hal berubah dalam hidup Syeni. Toko batik mulai ramai, terbantu oleh pameran Nara yang menyedot perhatian. Beberapa motif batik buatan Syeni bahkan dipesan untuk koleksi galeri seni. Ia mulai menemukan kembali mimpinya yang dulu ia pendam
menjadi pembatik muda yang dikenal bukan karena warisan, tetapi karena karyanya sendiri.
Ayahnya perlahan membaik.
Ibunya kembali tersenyum seperti dulu. Dan Nara… tetap datang, bukan dengan bantuan uang, tetapi dengan kehadiran yang hangat dan konsisten.
Setiap sore mereka duduk di belakang toko, mendesain motif baru bersama. Nara menggambar garis-garis kasar, Syeni menyempurnakannya dengan sapuan halus penuh perasaan.
Suatu kali, ketika senja menaburkan cahaya emas di dinding toko, Nara berkata pelan,
“Aku ingin kita membuat koleksi bersama. Namanya…
Cahaya Syeni.”
Syeni tertawa kecil, pipinya memanas. “Kenapa harus namaku?”
“Karena kau cahaya dalam hidupku,” jawab Nara tanpa ragu.
Syeni menunduk, menahan senyum yang tak sanggup ia sembunyikan.
Di saat-saat itu, ia merasa dunia yang selama ini berat mulai menjadi tempat yang bisa ia cintai lagi—pelan-pelan, tetapi pasti.
Namun Syeni belajar bahwa hidup tidak selalu menawarkan akhir yang sempurna.
Yang indah harus dirawat, yang rapuh harus dijaga. Dan cinta, seperti batik, hanya dapat bertahan jika diperlakukan dengan sabar dan penuh makna.
Tapi ia tidak lagi takut. Karena ia tahu, apa pun yang terjadi, ia tidak lagi berjalan sendirian.
Dan di bawah sinar remang yang jatuh di toko itu, Syeni tersenyum pada dirinya sendiri.
Ia pernah menjadi perempuan yang memikul segalanya sendirian.
Kini ia menjadi perempuan yang menemukan kembali cahayanya.
Dan cahaya itu berbeda dari kilau kain sutra atau warna megamendung adalah cahaya harapan.
Cahaya yang lahir dari luka.
Cahaya yang tumbuh dari keberanian.
Cahaya yang diberikan oleh seseorang yang datang tanpa diminta, tetapi tinggal karena cinta.
Oleh: Adharta
Ketua Umum KRIS
Www.kris.or.id
Www.adharta.com
