Oleh : Adharta
Ketua Umum
KRIS

Labuhan Angin
Minggu
30 Nopember 2025

SUARA DARI TANAH YANG BERDUKA

Sejak pekan lalu, hujan tak pernah berhenti jatuh dari langit Sibolga dan daerah sekitarnya. Hujan yang awalnya hanya dianggap sebagai musim biasa itu ternyata berubah menjadi ancaman besar yang datang diam-diam, tanpa aba-aba, tanpa sempat memberi waktu bagi siapa pun untuk bersiap.

Dalam satu malam, genangan berubah menjadi banjir, tanah yang lembut berubah menjadi longsoran mematikan, dan jalan-jalan yang dulu ramai kini berubah menjadi lautan lumpur serta puing.

Tak ada yang menyangka bahwa kedamaian itu akan runtuh begitu cepat.
Rumah-rumah hanyut.
Pohon tumbang memutus jalur listrik.
Jalan raya retak berkeping-keping tak bisa dilewati kendaraan. Sebagian warga terseret arus, sebagian terjebak di atap rumah tanpa makanan dan tanpa kepastian kapan pertolongan datang.

Waktu berjalan lambat, tapi penderitaan rasanya bergerak lebih cepat daripada harapan.

Di tengah keadaan panik itu, banyak keluarga terpisah.
Anak kehilangan orang tua.
Suami kehilangan istri.

Ada tangis yang pecah, bukan karena hujan, tapi karena kehilangan yang tidak pernah terbayangkan. Bau lumpur bercampur tangis dan doa seolah menjadi udara baru yang harus dihirup warga Sibolga, Tapanuli Tengah Utara, dan daerah sekitarnya.

Sebagian warga yang selamat mencoba memasuki kota untuk bertahan hidup.
Dalam kondisi putus asa, ada yang mengambil apa saja bukan karena tamak, tetapi karena lapar.
Ada yang menjarah bukan untuk dijual, tetapi untuk sekadar menyumbat perut anak yang sudah berhari-hari menangis kelaparan.
Di momen seperti itu, batas antara salah dan terpaksa menjadi sangat tipis.

Yang lebih menyedihkan, hampir tidak ada aparat yang mampu mengendalikan situasi.
Mungkin bukan karena mereka tidak peduli, tapi karena mereka pun kewalahan: akses putus, alat terbatas, dan kekacauan terjadi di banyak titik secara bersamaan.

Di sisi lain, korban makin bertambah. Setiap menit berlalu seperti membawa kabar buruk baru rumah tertimbun tanah, jembatan roboh, korban ditemukan tak bernyawa, termasuk anak-anak yang sempat menggenggam boneka penuh lumpur sebelum napas terakhirnya hilang.

Bantuan akhirnya datang, tapi terlambat. Medan sulit ditembus.
Alat transportasi terbatas.
Tenaga pertolongan pun tak sebanding dengan jumlah warga terdampak.
Bila banjir dan longsor ini ibarat api besar, maka bantuan yang datang hanya seperti tetesan air.

Di lokasi pengungsian, penderitaan belum juga berakhir.
Tenda seadanya berdiri di tanah becek. Banyak yang menggigil karena tidak memiliki pakaian kering atau selimut.
Makanan tidak cukup.
Air minum terbatas.
Bayi menangis karena susu formula tak tersisa.
Ibu menahan lapar agar anaknya tetap bisa makan sedikit.
Ada lansia yang duduk diam, matanya kosong seolah kehilangan masa depan, masa lalu, bahkan dirinya sendiri.

Meski demikian, di tengah duka ini tetap ada cahaya kecil yang muncul: para relawan, tenaga medis, wartawan lokal, dan warga baik hati yang datang meski dengan segala keterbatasan. Mereka membawa obat, makanan, selimut, dan terutama
pelukan serta harapan.
Namun, semua itu belum cukup.
Sibolga dan wilayah sekitarnya masih membutuhkan banyak bantuan
bantuan nyata, cepat, dan terorganisir. Mereka membutuhkan:
Makanan siap saji dan bahan pokok
Selimut, pakaian kering, kasur lipat
Obat-obatan, antiseptik, alat kesehatan, pampers bayi
Tenaga medis, paramedis, dan relawan lapangan

Alat berat untuk evakuasi dan memperbaiki akses jalan
Air bersih dan sarana penjernih air darurat
Sampai hari ini, masih banyak jenazah yang belum ditemukan, masih banyak keluarga yang belum kembali berkumpul, dan masih banyak yang hanya bisa berdoa tanpa tahu harus berharap kepada siapa.
Karena itu, kami mengundang setiap hati yang murah tangan, setiap donatur yang peduli, setiap organisasi sosial, setiap komunitas kemanusiaan, dan setiap medis yang tergerak:
Datanglah.

Bantulah.
Jangan biarkan mereka berjuang sendirian.

Hari ini, ratusan warga Sibolga membutuhkan bukan hanya bantuan materi, tetapi juga dukungan moral: ibahwa mereka tidak ditinggalkan, bahwa mereka tidak sendirian dalam menghadapi bencana ini.

Semoga tangan-tangan penuh kasih tergerak, semoga langkah-langkah pertolongan semakin banyak, dan semoga Tuhan memberkati setiap orang yang membantu meringankan duka ini.

Karena di balik setiap lumpur dan air mata yang jatuh di bumi Sibolga saat ini, ada doa yang berbisik pelan buat anda

“Tolong… kami ingin hidup.”

BCA
6380888058
An
Perkumpulan Killcovid

PMI Jakarta Pusat
No Rek
123 000 556 9647
Bank Mandiri

Www.kris.or.id
Www.adharta.com