Oleh : Adharta
Ketua Umum
KRIS

Kelapa Gading
Jumat
28 Nopember 2025

Cerpen no 025

Kisah Cinta di hari tua

“Setelah Rambut Memutih”

Tidak ada yang pernah membayangkan bahwa di usia 67 tahun, Kisno dan istrinya, Mariana, akan duduk berhadapan di ruang sidang pengadilan agama.

Mereka menikah lebih dari empat dekade tepatnya 45 tahun.

Pada usia itu, sebagian orang merayakan pernikahan emas, memberi doa panjang untuk kesetiaan, bukan mengakhiri cerita.

Di ruang tunggu pengadilan, Mariana memegang map cokelat berisi dokumen salinan akta nikah, fotokopi KTP, dan berlembar lembar bukti yang hampir tidak lagi penting untuk usia mereka.

Tangannya bergetar, bukan karena dingin, tetapi karena ingatan.
Di hadapannya, Kisno duduk kaku, menunduk seolah barisan kata telah lama habis dalam kepalanya.

Tidak ada teriakan. Tidak ada kemarahan. Yang ada hanyalah diam
diam yang panjang, dingin, dan melelahkan.
Kenangan yang Mengendap
Di rumah, foto pernikahan mereka masih tergantung. Pada foto itu, Mariana tersenyum malu-malu dengan kebaya putih.
Kisno muda berdiri tegak di sebelahnya, dada membusung penuh bangga.
Mereka membangun hidup dari nol. Rumah pertama mereka kecil, hanya dua kamar dan dapur yang bocor setiap hujan.
Tetapi di rumah kecil itulah mereka tertawa, bertengkar, berbaikan, dan memeluk anak-anak mereka ketika demam tengah malam.

Kisno bekerja keras. Ia jarang ada di rumah membuat Mariana belajar mengasuh anak sendirian.
Ia tidak pernah mengeluh di depan suami, tetapi diam-diam ia sering menangis ketika lelah terlalu larut.
Namun waktu berjalan dan luka kecil yang tidak pernah dibicarakan berubah menjadi tembok.

Setelah Anak-Anak Pergi
Anak pertama menikah dan pindah ke luar kota. Anak kedua bekerja di luar negeri, sesekali pulang setahun sekali. Rumah menjadi sunyi terlalu sunyi bagi dua orang yang sudah lupa cara berbicara dari hati ke hati.

Pada masa pensiun, ketika tidak ada lagi alasan untuk sibuk, barulah mereka sadar: mereka hanyalah dua orang asing yang tinggal di rumah yang sama.

Percakapan mereka berubah menjadi:
“Sudah makan?”
“Lampu garasi masih nyala.”
“Telepon dari anak.”
Tidak pernah lagi
“Apa yang kamu rasakan?”
“Masihkah kamu mencintaiku?”

Hari Ketika Semua Pecah
Pagi itu sederhana. Seperti pagi biasanya: teh panas dan roti tawar.
Mariana berkata pelan, tanpa menatap
“Aku lelah, Kis.”
Kisno tidak menjawab.
Ia menunggu kalimat berikutnya dan kalimat itu datang seperti pisau yang lama ditunda.
“Aku ingin bahagia… bukan begini.”

Kisno menarik napas. Lalu ia berkata, tanpa suara bergetar:
“Aku juga.”
Dan sejak hari itu, mereka berhenti berusaha.
Seperti dua kapal yang pelan-pelan melepaskan tali di dermaga yang sama, lalu membiarkan arus membawa mereka ke arah yang berbeda.
Kesedihan Anak-Anak
Ketika kabar itu sampai kepada anak-anak mereka, tangis pun pecah.

Bukan karena haus akan drama, tetapi karena takut kehilangan rumah yang mereka kenal sejak kecil.
Anak bungsu menelepon sambil terisak:
“Mama, 45 tahun bukan main-main… apa Mama yakin?”
Mariana hanya menjawab:
“Nak… ada masa dalam hidup ketika tinggal bersama luka lebih menyakitkan daripada berpisah.”

Anak sulung menyalahkan ayah:
“Kenapa Ayah diam? Kenapa tidak minta maaf? Tidak berusaha?”
Dan Kisno hanya berkata:
“Ayah sudah kehilangan caranya.”

Pada suatu malam, cucu pertama—usia lima tahun—bertanya polos:
“Kakek sama Nenek tidak sayang lagi?”

Pertanyaan itu menusuk lebih dalam daripada putusan pengadilan.
Karena di lubuk hati mereka, cinta itu tidak pernah mati hanya berubah bentuk menjadi sesuatu yang asing dan sulit dijelaskan.
Setelah Kata “Cerai” Diucapkan
Mereka pindah ke rumah masing-masing.
Mariana tinggal di rumah kecil yang ia beli dengan tabungannya sendiri.
Di rumah itu, ia mulai belajar hidup pelan: merawat tanaman, membaca buku, menulis jurnal.
Namun setiap malam pukul sembilan, ia masih menoleh ke kursi kosong di sebelah sofa
tempat Kisno biasa duduk saat menonton berita.
Sementara Kisno tinggal di apartemen dekat masjid. Ia mulai rutin ikut pengajian.
Ia belajar memasak sendiri
walaupun pada awalnya nasi buatannya keras seperti kerikil.
Kadang-kadang, tanpa sadar, ia menyiapkan dua gelas teh, lalu menatap gelas satunya lama-lama sebelum akhirnya menuangnya ke wastafel.

Dua Kursi Kosong di Acara Keluarga
Lebaran pertama setelah perceraian adalah yang paling menyakitkan.
Dulu, keluarga mereka selalu ramai. Kini, satu per satu anak dan cucu datang terpisah:
Sebagian ke rumah Kisno, sebagian ke rumah Mariana.
Tidak ada lagi foto keluarga utuh. Yang ada hanya potret terpisah seperti lembar buku yang robek.
Setelah semua pulang,
Mariana duduk sendirian, memandang meja makan panjang.
Ia berbisik ke udara:
“Seharusnya hari tua bukan begini…”

Di tempat lain, Kisno menatap langit malam dari balkon apartemen.
Ia menggenggam cincin pernikahannya yang masih tersimpan cincin yang tidak ia lepas, walaupun sudah tidak berguna secara hukum.
Ia berkata pelan, seperti berbicara kepada seseorang yang tidak lagi ada di sana:
“Maaf… aku tidak tahu bagaimana mencintai dengan cara yang kau harapkan.”

Setitik Cahaya
Waktu berjalan.
Tidak ada yang benar-benar sembuh, tetapi luka-luka itu mulai membentuk ruang baru
ruang untuk menata diri.
Suatu hari, di pesta ulang tahun cucu mereka, tidak ada pilihan selain duduk di meja yang sama.
Ada kikuk.
Ada jarak. Namun ada juga sesuatu yang lain: pengakuan akan sejarah panjang yang tak bisa dihapus.
Ketika semua orang sibuk bernyanyi, cucu bungsu menyodorkan boneka kecil pada mereka berdua dan berkata:
“Pegang sama-sama ya… biar nggak pisah lagi.”

Tangis pun jatuh bukan hanya dari mereka, tetapi dari anak-anak yang melihat betapa rapuhnya manusia ketika cinta berubah menjadi kenangan.
Mariana menatap Kisno sejenak.
Ia tersenyum bukan senyum kembali cinta, tetapi senyum lega seperti akhirnya mengerti:
“Ada cinta yang ditakdirkan untuk dikenang, bukan diperjuangkan lagi.”

Dan Kisno mengangguk pelan.
Tak ada janji untuk kembali.
Tak ada permintaan memulai dari awal.
Yang ada hanyalah pengakuan bahwa 45 tahun itu tidak sia-sia meski tidak berakhir seperti dongeng.

Akhir Kisah Cinta

Gray Divorce bukan sekadar perpisahan dua tubuh tua.
Ia adalah pecahan kisah panjang tentang cinta, luka, waktu, dan pilihan.
Kadang, pernikahan bertahan bukan karena dua orang selalu saling mencintai tetapi karena dua hati memilih untuk tetap tinggal.
Namun ketika pilihan itu tak lagi sanggup dijalani, maka perpisahan bukan hanya akhir tetapi juga bentuk lain dari merawat diri, merawat sisa hidup, dan merawat damai yang pernah hilang.
Karena cinta, pada akhirnya, tidak selalu berarti bersama.
Kadang, cinta berarti melepaskan
dengan doa, penghargaan, dan air mata yang jatuh diam-diam.

Www.kria.or.id

Www.adharta.com