“Dua Cinta di Antara Langit”
Cerpen 020
Oleh : Adharta
Ketua Umum
KRIS
Awal dari Cinta yang Sederhana
Pagi itu, lonceng Gereja Santa Monika di daerah
Serpong berdentang pelan, mengiringi langkah sepasang insan yang bersumpah di hadapan altar.
Jaya dan Monik.
Awal tahun 1980.
Tak ada pesta mewah, tak ada taburan bunga atau gaun panjang berkilau. Yang ada hanyalah cinta yang murni, sederhana, dan penuh harapan.
Monik menatap Jaya dengan mata berembun.
“Janji ya, kita jalanin semuanya bareng-bareng, suka dan duka.”
Jaya tersenyum, menggenggam tangan istrinya erat.
“Selama Tuhan di tengah kita, semua akan baik-baik saja.”
Dan benar. Hidup mereka dijalani dengan kerja keras dan iman.
Jaya memulai dari nol
dari kuli bangunan, tukang kayu, sampai perlahan dipercaya menjadi mandor dan kemudian manajer lapangan di perusahaan konstruksi besar.
Monik, dengan kelembutan hatinya, menjadi pelita keluarga. Ia bekerja serabutan, kadang menjahit, kadang membantu pelayanan sosial di gereja.
Dari cinta itu, Tuhan menghadiahkan dua anak laki-laki yang tampan dan cerdas:
Rudy dan Radit.
Rumah sederhana mereka di Serpong selalu penuh tawa, doa, dan aroma masakan Monik yang hangat.
Anak-Anak yang Bertumbuh
Waktu berlalu.
Rudy tumbuh menjadi anak yang ambisius dan cerdas
jago berhitung, berani berpendapat, dan selalu ingin jadi juara.
Sedangkan Radit…
ia tenang, lembut, dan penuh kasih. Setiap kali Monik menutup doa malam, Radit kecil selalu berkata:
“Ma, kalau aku besar nanti, aku mau kerja buat Tuhan ya.”
Monik hanya tersenyum waktu itu, menganggapnya sekadar celoteh polos anak kecil.
Tapi rupanya, benih itu tumbuh diam-diam.
Ketika Rudy diterima di UCLA mengambil hukum, kebanggaan keluarga meledak.
“Anak kita kuliah di Amerika!” kata Jaya bangga.
Beberapa tahun kemudian, Radit menyusul, diterima di Boston University jurusan teknik.
Doa mereka seolah terjawab dua anak sukses, dua harapan bangsa.
Hidup keluarga Jaya berubah pesat.
Bisnis konstruksi yang dulu kecil kini meraksasa.
Jaya menjadi salah satu pengusaha besar di Indonesia. Rumah mereka menjulang tinggi di Jakarta Selatan, namun doa Rosario setiap malam tak pernah hilang.
Mereka tetap sederhana, tetap setia pada gereja dan pelayanan.
Berita dari Boston
Suatu sore, kabar bahagia datang:
Radit lulus dengan predikat cum laude dari Boston University.
Namun dalam surat yang sama, terselip kalimat yang mengguncang dunia mereka:
“Pa, Ma, aku ingin melanjutkan hidupku menjadi Imam.
Aku sudah mendaftar di seminari, dan jika Tuhan menghendaki, aku akan ditahbiskan menjadi pastor.”
Monik menjatuhkan surat itu, menatap suaminya dengan mata kosong.
“Jaya… apa ini benar?”
Jaya menggenggam kepala istrinya. “Tuhan… apakah ini berkat atau cobaan?”
Malam itu, rumah besar mereka diselimuti hening.
Mereka menangis, bukan karena malu, tapi karena takut kehilangan anak bungsu mereka.
“Dia masih muda, Monik. Mungkin cuma terbawa suasana,” ujar Jaya lirih.
“Kalau begitu… kita kirim Rudy ke sana.
Biar dia bicara dengan adiknya.”
Tugas untuk Sang Kakak
Rudy saat itu telah menjadi sukses.
Lulus UCLA, ia mengikuti jejak ayahnya membangun bisnis di luar negeri.
Ia sudah bertunangan dengan Susan, gadis Amerika berdarah Filipina yang lembut dan beriman.
Ketika ayahnya meminta dia pindah ke Boston untuk membujuk Radit, Rudy tak bisa menolak.
Susan memegang tangan Rudy.
“Apapun yang kamu lakukan, aku dukung. Tapi jangan lupa, kamu juga punya hidup sendiri.”
Rudy hanya tersenyum.
“Aku tahu.
Tapi ini untuk keluarga. Untuk Papa dan Mama.”
Rudy pindah ke Boston.
Rumah besar keluarga Jaya di sana menjadi tempat tinggal mereka berdua.
Setiap malam Rudy mencoba bicara dengan Radit, tapi adiknya selalu tersenyum lembut dan berkata,
“Bang, aku bahagia di sini. Aku merasa seperti pulang.”
Cinta yang Terbelah
Musim dingin datang, salju turun menutupi kota Boston.
Suatu malam, Rudy dan Susan berjalan di taman dekat seminari.
Udara beku, tapi hati mereka hangat.
Rudy memandangi langit yang pucat, lalu berkata pelan,
“Susan, aku baru mengerti sekarang…
Radit tidak meninggalkan dunia, dia justru menemukan cintanya.”
Susan tersenyum lembut.
“Dan kamu?”
“Aku juga mencintainya bukan Radit, tapi Tuhan yang mencintai Radit.”
Beberapa minggu kemudian, Rudy mengirim surat panjang ke ayah dan ibunya.
Namun kali ini isinya lebih mengejutkan.
“Pa, Ma, aku tidak bisa memaksa Radit berhenti.
Justru karena aku melihat kebahagiaan di wajahnya, aku merasa terpanggil juga.
Aku akan masuk seminari.
Jangan marah. Ini bukan karena aku menyerah, tapi karena aku ingin ikut jalan cinta itu.”
Monik hampir pingsan membaca surat itu.
“Dua-duanya, Jaya… dua-duanya mau jadi imam!”
Jaya berdiri membisu. Air mata turun tanpa suara.
Ia menatap salib di ruang tamunya.
“Tuhan… Engkau mengambil semua yang kami punya, tapi jika ini untuk kemuliaan-Mu, kami belajar untuk rela.”
Jalan Menuju Altar
Waktu berjalan. Tahun-tahun berganti.
Rudy dan Radit menempuh perjalanan rohani mereka masing-masing.
Rudy meninggalkan Susan dengan hati remuk tapi damai. Susan menulis surat terakhir padanya:
“Kamu memilih cinta yang lebih besar dari aku.
Aku mencintaimu, tapi aku tahu, cintamu kepada Tuhan jauh melampaui.
Aku akan selalu berdoa untukmu, Rudy.”
Sementara itu, Jaya dan Monik perlahan belajar menerima. Mereka berdoa setiap malam, bukan lagi agar anak-anak mereka kembali, tapi agar mereka kuat menjadi orang tua dua imam.
Kadang, Monik duduk di teras rumah, menatap langit sore.
“Aku rindu mereka, Jaya.”
Jaya menggenggam tangannya.
“Rindu itu juga doa, Monik.”
Dua Tahbisan
Hari itu akhirnya tiba.
Boston Cathedral berdiri megah di bawah langit musim semi.
Jaya dan Monik duduk di barisan depan.
Di hadapan mereka, dua putra yang dulu mereka dekap di malam hujan kini berlutut di depan altar, mengenakan jubah putih bersih.
Uskup menumpangkan tangan ke kepala mereka.
Tangisan tak terbendung.
Air mata Jaya jatuh di atas rosario yang ia genggam erat.
Monik memejamkan mata, bibirnya bergetar:
“Terima kasih, Tuhan.
Ambillah mereka… tapi jangan jauh-jauh dari hatiku.”
Ketika misa berakhir, dua imam muda itu menghampiri orang tuanya.
Rudy memeluk ayahnya.
“Pa… terima kasih sudah mengizinkan aku mencintai Tuhan.”
Radit mencium tangan ibunya. “Ma… doakan aku selalu, ya.”
Monik tak sanggup bicara, hanya memeluk keduanya erat, seolah ingin menahan waktu agar tak berjalan.
Dua Cinta di Langit
Tahun demi tahun berlalu.
Rudy berkarya di Roma, menjadi pastor yang disegani karena kebijaksanaannya.
Radit melayani di pedesaan Asia Tenggara, membangun sekolah dan panti asuhan.
Mereka jarang pulang, tapi setiap kali menelepon, suara mereka penuh kedamaian.
Monik sering menulis surat untuk keduanya.
“Anakku, setiap doa kami adalah pelukan.
Kami tidak kehilangan kalian, kami hanya belajar mencintai dengan cara yang lebih tinggi.”
Jaya meninggal dalam damai pada usia senja, karena serangan Covid-19
dengan rosario di tangannya.
Monik menatap langit, tersenyum.
Ia tahu, suaminya telah bertemu Tuhan yang sama dengan kedua anak mereka.
Dan ketika akhirnya Monik dipanggil untuk bekerja buat Tuhan,
Saat Misa Requiem Jaya diadakan oleh dua imam yang berdiri berdampingan dengan Monic
Rudy dan Radit di depan peti Papa mereka.
Air mata jatuh tanpa henti, tapi kali ini bukan karena kehilangan, melainkan karena cinta yang telah menjadi abadi.
Cinta di langit biru
Setelah misa, Rudy berkata pelan pada adiknya,
“Dulu aku pikir kita kehilangan segalanya, Dit.”
Radit tersenyum, menatap langit senja.
“Tidak, Bang. Kita justru menemukan segalanya di dalam Dia.”
Padahal tujuan Rudyasuk Seminari agar dapat menggantikan Radit
Yang begitu di cintai oleh Papa dan Mama
Ternyata jeratan panggilan bercerita lain
Dan di gereja kecil di pinggiran Boston itu, dua imam, dua anak, dua cinta
cinta kepada keluarga dan cinta kepada Tuhan
berpadu menjadi satu keabadian.
Karena sesungguhnya, cinta sejati bukan tentang memiliki, melainkan tentang memberi tanpa batas.
~ Tamat ~
Www.kris.or.id
Www.adharta.cim
Tulisan ini untuk mengenang sahabatku
aloysius
Tuhan bersamamu
