20.000 Hari Cinta
Cerpen 019
Oleh : Adharta
Ketua Umum
KRIS
Ketinggian fiatas 39.000 kaki diatas Bali
Medio Nopember 2025
Hari Pertama:
Pertemuan di Bawah Hujan
Langit sore itu menggantung rendah di atas taman kota. Rintik hujan turun lembut, menyisakan aroma tanah basah dan dedaunan yang baru tersentuh air.
Raka berdiri di bawah halte kecil, memegang payung lipat biru yang sudah mulai sobek di pinggirnya.
Ia baru pulang dari kampus, dan tak sengaja melihat seorang gadis berlari menyeberang jalan sambil menutupi kepala dengan buku tebal.
Gadis itu berhenti tepat di depan halte, napasnya tersengal, rambutnya basah menempel di pipi.
“Payungmu rusak ya?” gadis itu tersenyum kecil sambil menunjuk payung Raka.
“Sedikit,” jawab Raka canggung.
“Tapi masih bisa menampung dua orang kalau mau.”
Gadis itu tertawa pelan, matanya hangat. “Baiklah, aku percaya.”
Begitulah pertemuan pertama mereka di bawah hujan, di antara tawa kecil yang sederhana, tapi meninggalkan kesan mendalam.
Namanya Laras.
Hari ke-200:
Bulan ke delapan
Surat di Kertas Kopi
Raka dan Laras menjadi teman dekat.
Mereka sering belajar bersama di kafe kecil dekat kampus.
Suatu sore, Raka menulis sesuatu di serbet kertas yang biasanya dipakai untuk menaruh sendok.
“Jika hidup ini hanya 20.000 hari, aku ingin 19.999-nya bersamamu.”
Laras membaca kalimat itu diam-diam saat Raka sedang ke kasir.
Ia tersenyum, tapi matanya berkaca-kaca.
Ia tahu kalimat itu bukan gombalan biasa itu doa.
Sejak hari itu, mereka resmi berpacaran.
Waktu berjalan seperti sungai tenang.
Hari demi hari terasa indah, penuh tawa, makan bakso di pinggir jalan, foto berdua di taman kota, dan saling menulis pesan singkat setiap pagi:
“Selamat pagi, 19.999 hari tersisa.”
Hari ke-1.000:
Ujian Hidup
Setelah lulus kuliah, mereka berjuang membangun karier.
Raka bekerja di perusahaan pelayaran PT Aditya Aryaprawira di Jakarta, sering ke luar kota.
Laras menjadi guru SD di kampung halamannya.
Jarak membuat mereka jarang bertemu, tapi setiap video call menjadi obat rindu.
Suatu malam, Laras berkata lirih lewat layar ponsel,
“Kadang aku takut, waktu kita habis sebelum sempat menikah.”
Raka menatapnya lembut.
“Waktu kita memang terbatas, Laras. Tapi yang penting, kita menjadikannya berarti.”
Beberapa bulan kemudian, Raka melamar Laras di pantai yang dulu mereka kunjungi saat kuliah.
Ia menggenggam cincin kecil, tangannya gemetar karena gugup dan haru.
“Laras, maukah kau jadi alasan kenapa setiap hariku berharga?”
Laras mengangguk sambil menangis, dan senja hari itu menjadi saksi cinta mereka yang tulus.
Hari ke-2.000:
Pernikahan Sederhana
Pernikahan mereka sederhana, di halaman rumah orang tua Laras.
Tak ada kemewahan, hanya tenda putih, lagu-lagu lembut, dan tawa keluarga yang hangat.
Raka menatap istrinya yang kini berselimut kebaya krem, tersenyum malu-malu di pelaminan.
“Laras,” bisiknya, “aku tak butuh surga, selama kau bersamaku di dunia ini.”
Dan malam itu, ketika semua tamu sudah pulang, mereka duduk berdua di teras rumah, memandang langit bertabur bintang.
“Berapa hari lagi kita punya, Ra?” tanya Laras pelan.
“Entahlah,” jawab Raka sambil menggenggam tangannya. “Tapi kalau setiap hari seperti ini, satu pun sudah cukup indah.”
Hari ke- 2.500:
Lahirnya Malaikat Kecil
Tiga tahun kemudian, lahirlah seorang bayi perempuan Naya.
Tangisan kecil itu seperti musik paling indah di dunia.
Laras menangis bahagia, memeluk bayinya dengan tangan gemetar.
Raka mencium kening keduanya dan berbisik:
“Hari ini, Tuhan memberiku alasan baru untuk bersyukur.”
Sejak hari itu, kehidupan mereka berubah. Malam-malam tanpa tidur, popok, tawa bayi, dan foto-foto keluarga yang menumpuk di dinding ruang tamu.
Raka sering pulang larut, tapi selalu menyempatkan diri membaca dongeng sebelum Naya tidur.
Laras duduk di kursi, tersenyum melihat dua orang yang ia cintai begitu bahagia.
“Raka,” katanya suatu malam, “hidup ini ternyata cepat sekali, ya?”
Raka mengangguk. “Makanya kita harus sering berhenti sejenak dan bersyukur.”
Hari ke-5.000: Ujian Kedua
Sebuah telepon datang tengah malam.
Kapal tempat Raka bekerja mengalami kecelakaan di laut.
Laras berlari ke rumah sakit dengan hati berdebar, memeluk Naya yang menangis di gendongan.
Raka selamat tapi kakinya luka parah, harus istirahat panjang.
Laras menjaganya dengan sabar, menyiapkan bubur setiap pagi, memijat kaki suaminya, dan selalu berkata,
“Yang penting kau masih di sini.”
Mereka menertawakan kesulitan itu bersama. Kadang menangis juga. Tapi cinta mereka justru tumbuh makin dalam.
Mereka belajar bahwa cinta sejati tak hanya soal kebahagiaan, tapi juga keberanian untuk bertahan saat badai datang.
Hari ke-10.000:
Waktu yang Mengajari
Raka sudah sembuh, tapi kini rambutnya mulai memutih.
Naya tumbuh menjadi gadis remaja, gemar melukis dan punya tawa yang mirip ibunya.
Setiap Minggu pagi, keluarga kecil itu berjalan di taman kota taman tempat Raka dan Laras pertama kali bertemu.
Raka sering menggoda,
“Kalau payungku nggak sobek waktu itu, mungkin aku nggak pernah ketemu kamu.”
Laras tertawa, “Kalau buku tebalku nggak basah, mungkin aku juga nggak sempat melihat wajahmu.”
Mereka saling berpandangan. Waktu mungkin mencuri muda, tapi tak bisa mencuri cinta.
Hari ke-15.000:
Saat Waktu Mulai Perlahan
Laras mulai sering sakit. Awalnya hanya batuk ringan, lalu makin sering ke rumah sakit.
Dokter mengatakan penyakit paru-paru kronis yang tak bisa sepenuhnya disembuhkan.
Raka diam lama di parkiran rumah sakit hari itu.
Hujan turun sama seperti hari pertama ia bertemu Laras.
Ia membuka payung biru tua yang kini sudah lusuh, memandang langit sambil berbisik,
“Kalau boleh, Tuhan, biarkan aku menukar sisa hariku dengan miliknya.”
Selama berbulan-bulan, Raka merawat Laras dengan penuh kasih.
Ia membacakan buku, menyiapkan teh hangat, dan setiap malam berkata,
“Tidurlah, Laras. Aku di sini.”
Laras selalu tersenyum meski tubuhnya lemah.
“Raka,” katanya, “jangan sedih kalau aku pergi nanti.
Aku cuma pindah tempat, tapi cintaku tetap di sini, di antara hari-harimu.”
Hari ke-17.000:
Kepergian
Pagi itu matahari terbit perlahan, menembus jendela kamar rumah mereka.
Raka menggenggam tangan istrinya yang sudah dingin.
Air matanya jatuh diam-diam.
Di meja kecil di samping tempat tidur, ada secarik kertas berisi tulisan tangan Laras:
“Terima kasih sudah membuat 17.000 hariku indah.
Jika masih ada 3.000 hari lagi untukmu, hiduplah dengan senyum, tawa, dan cinta.
Karena aku ingin setiap hari yang tersisa menjadi kisah indah yang kutonton dari surga.”
Raka memeluk surat itu, menangis sejadi-jadinya.
Hari itu, dunia terasa hening. Tapi di tengah duka, ia merasa kehadiran Laras masih ada — di udara, di bunga yang mekar, di tawa Naya.
Hari ke-18.000:
Melanjutkan Cinta
Tahun-tahun berlalu.
Raka kini sudah beruban sepenuhnya, tapi matanya tetap hangat.
Setiap pagi, ia menulis di buku harian:
“Hari ke-18.000 hari yang indah, karena aku masih bisa bersyukur.”
Naya sudah dewasa, menikah, dan sering mengunjungi ayahnya.
Suatu sore, ia menemukan payung biru tua di lemari lama.
“Ayah, ini payung waktu ayah ketemu Ibu, ya?”
Raka mengangguk, tersenyum pelan. “Iya, ini saksi cinta 20.000 hari.”
Hari ke-19.999:
Penutup yang Tenang
Hari itu, langit berwarna jingga.
Raka duduk di kursi taman, memandang matahari terbenam di tempat yang sama dulu ia bertemu Laras.
Ia menulis surat terakhir untuk Naya:
“Nak, hidup ini hanya 20.000 hari dari pertemuan dengan Ibumu
Tapi jangan takut pada waktu.
Tak perlu menghitung hari, cukup isi dengan cinta.
Karena setiap tawa, setiap pelukan, setiap air mata, semuanya bagian dari keindahan hidup.”
Ketika matahari tenggelam, Raka memejamkan mata.
Ia tersenyum seolah Laras menjemputnya pulang.
Hari ke-20.000:
Pertemuan CINTA
Hari Abadi
Di taman kota itu, di bawah pohon besar, Naya menaruh dua payung: satu biru, satu putih.
Di antara bunga-bunga yang berguguran, ia berbisik:
“Terima kasih, Ayah dan Ibu. Kalian telah mengajarkan arti hidup bukan seberapa panjang, tapi seberapa bermakna.”
Langit cerah. Angin berhembus lembut, seperti bisikan cinta yang abadi.
CINTA berjalan
Hidup perkawinan memang hanya 20.000 hari,
tapi jika setiap harinya diisi dengan cinta, syukur, dan kesadaran,
maka satu kehidupan bisa jadi selamanya.
Karena waktu bukan tentang jumlah hari yang kita punya,
melainkan tentang seberapa dalam kita mencintai di setiap harinya.
Www.kris.or.id
Www.adharta.com
