.
Bolehkah Aku Makan Bersamamu?
Cerpen no 013
Oleh: Adharta
Ketua umum
KRIS
Akhir September 2025
IMalam di Marlowe’s
Malam Oktober di Chicago selalu menyimpan nuansa yang khas: udara dingin yang merayap, angin dari tepi Sungai Chicago yang menusuk, dan lampu-lampu kota yang berkilau seperti bintang yang jatuh ke bumi.
Malam itu, restoran Marlowe’s—ikon kuliner berbintang Michelin di tepi sungai—penuh dengan tamu istimewa. Para pengusaha, politisi, dan selebritas menikmati hidangan mahal yang ditata bagai lukisan.
Di salah satu sudut ruang, seorang pria paruh baya duduk sendiri. Wajahnya tenang, tatapannya dingin, rambutnya beruban dengan sisiran rapi. Dialah Richard Evans, nama besar dalam dunia properti.
Di balik jas Armani yang melekat di tubuhnya, ada aura kekuasaan yang membuat orang menunduk ketika ia lewat.
Namun di balik semua itu, Evans adalah pria yang memilih kesunyian di tengah keramaian.
Ia jarang tersenyum, apalagi tertawa.
Hidup baginya adalah tentang strategi, akuisisi, dan angka-angka.
Malam itu ia memesan dry-aged ribeye, daging pilihan yang telah diproses dengan kesabaran, sama seperti dirinya yang membangun imperium dengan disiplin dan keteguhan.
Saat pelayan meletakkan piring di hadapannya, suasana tenang itu tiba-tiba pecah oleh suara kecil yang asing di telinga semua orang.
Pertemuan yang Mengubah Segalanya
“Tuan… bolehkah saya makan bersamamu?”
Evans mendongak. Suaranya pelan, hampir tenggelam dalam denting gelas kristal di seluruh ruangan.
Di hadapannya berdiri seorang gadis kecil, kira-kira sebelas tahun.
Rambutnya kusut, wajahnya berdebu, dan kakinya telanjang. Gaunnya lusuh, terlalu besar bagi tubuh kurusnya.
Matanya meski redup oleh kelelahan
memancarkan cahaya yang sulit diabaikan
kejujuran seorang anak yang lapar.
Restoran mendadak hening. Para tamu menoleh dengan tatapan terkejut bercampur jijik. Seorang maître d’ segera melangkah hendak mengusirnya, namun Evans hanya mengangkat tangan.
“Siapa namamu?” tanyanya pelan, lipatan serbet masih tergenggam rapi di tangannya.
“Emily…”
jawab gadis itu gugup, matanya menunduk.
“Aku belum makan sejak Jumat.”
Kalimat itu menusuk udara seperti belati. Sebagian tamu menunduk, sebagian pura-pura tak mendengar.
Tapi Evans, yang selama ini dikenal tak pernah goyah, justru menatap gadis itu lama.
“Duduklah,” katanya akhirnya sambil menunjuk kursi kosong di depannya.
Emily menurut. Kakinya menggantung, tak menyentuh lantai.
Ia menatap steak mahal di meja dengan tatapan campur aduk penuh kerinduan, takut, tapi juga berharap.
Pelayan mendekat, menunggu instruksi. Evans hanya berkata singkat, “Bawakan steak saya untuknya. Dan segelas susu hangat.”
Steak Pertama
Ketika piring besar diletakkan di depannya, Emily menelan ludah. Tangannya gemetar saat memegang garpu.
Ia mulai makan perlahan, seolah setiap potongan bisa menghilang bila tidak segera ditelan.
Tak ada satu pun kata keluar dari bibirnya, hanya tatapan syukur yang dalam.
Evans menatapnya diam-diam.
Di balik wajah tenangnya, ingatan lama muncul ingatan yang selalu ia kubur dalam-dalam.
Ia pernah berada di posisi itu.
Ia pernah tidur di jalan, memungut kaleng demi uang receh, dan menghabiskan malam di bangunan kosong dengan perut kosong.
Ia tahu betul bagaimana rasa lapar bisa lebih keras daripada suara hati.
“Di mana keluargamu?” tanyanya setelah piring itu bersih.
Emily berhenti sejenak. Suaranya kecil, patah-patah.
Ia bercerita tentang ayah yang meninggal karena kecelakaan, ibu yang pergi dan tak pernah kembali, serta nenek yang baru saja berpulang. Kini ia benar-benar sendirian.
Ruangan itu kian sunyi.
Bahkan denting gelas pun seperti menahan diri.
Evans menghela napas panjang, menahan sesuatu yang menekan dadanya.
Ia tak pernah membiarkan orang lain melihat kelemahannya. Tapi gadis kecil ini menyentuh lapisan hatinya yang paling rapuh.
Tawaran Hidup Baru
Evans berdiri, mengeluarkan dompet.
Para tamu mengira ia akan memberi uang
sedekah yang lumrah.
Namun ia melakukan sesuatu yang jauh lebih tak terduga.
“Maukah kau pulang bersamaku?” tanyanya.
Emily terperangah. “Apa maksudmu?”
“Maksudku tempat tidur. Makanan yang layak.
Sekolah.
Hidup baru.
Tapi semua itu butuh usaha dan rasa hormat.
Tak ada lagi rasa lapar.”
Air mata menggenang di mata Emily.
Ia hanya mengangguk, takut bila suara keluar dari bibirnya, segalanya akan lenyap.
Malam itu, dunia kecil seorang anak tunawisma berubah selamanya.
Malam Pertama
Rumah Evans bukan sekadar rumah
melainkan istana kaca dengan pilar marmer dan taman luas. Namun bagi Emily, yang terbiasa tidur di bangku taman, semua itu terasa seperti mimpi.
Ketika ia masuk ke kamar tamu yang disiapkan, ia tertegun. Tempat tidur empuk, seprai wangi, lampu hangat. Tapi naluri bertahan hidup masih melekat.
Malam itu, Emily tetap tidur meringkuk di lantai, dan menimbun roti gulung di balik kausnya, takut kehilangan makanan lagi.
Ketika pengurus rumah tangga menemukan tumpukan biskuit di bawah bantalnya, Emily menangis histeris, merasa akan diusir.
Namun Evans berjongkok di sampingnya, menatapnya dengan lembut. “Kau tak perlu takut lagi.
Di sini, kau tidak akan kelaparan.”
Kalimat itu bagai selimut hangat yang membungkus hatinya.
Tumbuh Bersama Luka
Hari-hari berikutnya penuh perjuangan. Emily belajar tata krama, membaca, menulis, dan mengejar pelajaran yang tertinggal.
Evans menyediakan tutor terbaik, tapi ia juga menjadi guru dalam banyak hal. Hampir setiap malam, mereka berbicara di ruang tamu sambil menyeruput cokelat panas.
Emily bercerita tentang rasa sepi, Evans bercerita
sedikit demi sedikit—
tentang masa lalunya yang kelam.
Ia mengaku pernah menjadi anak jalanan, merasakan dinginnya malam tanpa selimut, dan menatap orang-orang yang pura-pura tidak melihatnya.
“Kau tahu, Emily,”
katanya suatu malam, “hidup bisa kejam.
Tapi jika kita bisa bertahan, ada kekuatan yang lahir dari luka itu.”
Kata-kata itu melekat di hati Emily. Ia belajar tidak hanya dari buku, tetapi dari keteguhan pria yang kini ia anggap sebagai ayah.
Panggung Wisuda
Tahun demi tahun berlalu. Emily tumbuh menjadi gadis cerdas dan penuh semangat.
Ia diterima di Columbia University, salah satu universitas terbaik di dunia.
Hari wisudanya menjadi hari penuh air mata. Evans duduk di barisan depan, jasnya rapi, tetapi matanya berkaca-kaca.
Emily berdiri di podium, toga biru tua melekat di tubuhnya, senyumnya bersinar.
Ia membuka pidatonya dengan kalimat yang membuat seluruh aula terdiam.
“Kisah saya dimulai dengan lima kata sederhana:
‘Bolehkah saya makan bersamamu?’”
Ia berhenti sejenak, menatap ke arah Evans.
“Seorang pria menjawab dengan kebaikan, dan hidup saya berubah selamanya.
Saya berdiri di sini bukan hanya karena kerja keras, tapi karena belas kasih yang ditawarkan pada saat saya paling membutuhkan.”
Tepuk tangan menggema. Banyak yang menangis. Evans menunduk, menyembunyikan air mata yang tak terbendung.
Warisan Kebaikan
Emily tidak memilih jalan mudah ke Wall Street, meski pintu terbuka lebar.
Sebaliknya, ia mendirikan yayasan:
Can I Eat With You?
Foundation dedikasi untuk anak-anak tunawisma.
Evans mendukung penuh, bahkan menyumbangkan sepertiga kekayaannya. Bersama-sama, mereka membangun rumah singgah, dapur umum, dan beasiswa.
Setiap anak yang lapar mendapat kesempatan, sebagaimana Emily dulu mendapatkannya.
Dan setiap tanggal 15 Oktober, mereka kembali ke Marlowe’s.
Bukan untuk makan mewah di dalam, melainkan memenuhi trotoar dengan meja-meja panjang. Makanan hangat tersaji, tangan terbuka menyambut, tanpa ada pertanyaan.
Karena kebaikan yang lahir dari satu meja kecil di malam Oktober itu, tak pernah benar-benar pergi.
Banyak tahun kemudian, ketika Evans sudah renta, ia sering duduk di beranda rumahnya sambil memandang senja.
Emily, yang kini menjadi pemimpin yayasan, selalu duduk di sampingnya.
“Terima kasih, Tuan Evans,” katanya suatu sore.
Evans tersenyum samar. “Jangan panggil aku Tuan. Kau anakku.”
Air mata Emily jatuh tanpa bisa ditahan.
Sebab ia tahu, cinta yang tumbuh dari satu pertanyaan sederhana telah menyelamatkan dua jiwa: seorang anak yang kelaparan… dan seorang pria yang hampir kehilangan rasa kemanusiaannya.
Dan bagi mereka berdua, jawaban malam itu akan selalu abadi.
Kisah nyata ini di tulis ulang oleh Adharta
Srbagai penghotmatan buat
Ms Emily
