“Janji di Bawah Langit Senja”
Cerpen 003
Oleh : Adharta
Ketua Umum
KRIS
Jakarta
Jumat
8 Agustus 2025
Tulisan buat semua sahabatku
Keluarga besar KRIS
Dan para warga Wulan
Dan semua sahabat
Sebuah Pertemuan
Hujan baru saja reda sore itu. Jalanan desa masih basah, menyisakan aroma tanah yang khas. Sumiati berjalan pelan di pinggir jalan, menenteng tas kain berisi buku.
Rambut hitamnya yang diikat sederhana sedikit terurai karena angin. Hari itu ia baru saja menerima kabar kelulusan SMA
sebuah pencapaian yang ia syukuri meski tanpa pesta.
Ia melewati tikungan dekat balai desa, lalu berhenti ketika melihat seorang pemuda berkulit legam memanggul sak semen. Tubuhnya tegap, baju lusuh, wajahnya basah oleh peluh. Meski tampak lelah, matanya teduh dan senyumnya ramah. Saat Sumiati lewat, tiba-tiba sebuah buku jatuh dari tasnya.
“Permisi, Neng… ini bukunya,” ucap pemuda itu sambil membungkuk, mengulurkan buku tipis bersampul senja.
Sumiati mengangguk, sedikit kikuk. “Makasih, Mas.”
“Nama saya Haryo. Kerja di proyek dekat sini,” ujarnya.
“Saya Sumiati,” jawabnya singkat.
Itu awal dari serangkaian pertemuan yang tak direncanakan. Kadang di warung kopi, kadang di halte bus.
Haryo tak banyak bicara, tapi setiap kalimatnya terasa tulus. Ia bercerita tentang rumah-rumah yang ia bangun, tentang mimpinya punya tempat tinggal sendiri, dan tentang keyakinannya bahwa kerja keras tak pernah mengkhianati hasil.
Sebuah Awal Cinta
Suatu sore, langit desa berubah jingga. Mereka duduk di pematang sawah, memandangi matahari yang perlahan tenggelam.
“Aku nggak punya banyak, Mi,” kata Haryo sambil memegang topi lusuhnya.
“Tapi kalau kamu mau, aku janji bakal bikin kamu bahagia sebisaku.”
Sumiati menatapnya, bibirnya tersenyum kecil. “Aku nggak butuh banyak, Mas.
Aku cuma butuh orang yang sayang sama aku, tulus.”
Mereka resmi berpacaran. Tak ada makan malam mewah, hanya pisang goreng hangat di teras rumah sambil tertawa menceritakan hal-hal kecil.
Dua tahun kemudian, mereka menikah dalam pesta sederhana di halaman rumah. Kursi pinjaman, tenda seadanya, tapi tawa tamu dan cahaya mata mereka membuat segalanya terasa mewah.
Perjuangan tulus
Mereka memulai rumah tangga di kontrakan kecil berlantai semen. Atap seng berisik jika hujan, tapi di situlah mereka menata mimpi.
Suatu malam, sambil makan tempe goreng dan sambal terasi, Sumiati berkata pelan, “Mas… aku pengen kuliah. Ambil administrasi pemerintahan.”
Haryo mengangkat kepalanya. “Kuliah? Uangnya cukup nggak?”
“Nggak tahu. Tapi aku pengen nyoba. Siapa tahu nanti aku bisa bantu ekonomi kita.”
Haryo terdiam sebentar, lalu tersenyum. “Kalau itu mimpimu, aku akan kerja lebih keras. Biar kamu kuliah, Mi.”
Ia menepati janji. Haryo mengambil lembur, pulang larut malam, tangan melepuh, punggung pegal. Namun, setiap kali melihat Sumiati belajar di meja kecil, ia merasa lelahnya hilang.
Seringkali, Haryo menjemput Sumiati di halte kampus dengan motor tuanya. Kadang mereka mampir makan bakso di pinggir jalan, kadang hanya pulang sambil bercanda.
Empat tahun berlalu, Sumiati lulus sarjana. Hari wisuda, Haryo datang dengan kemeja putih pudar.
Ia duduk di kursi paling belakang, memotret istrinya dengan ponsel jadul. Senyumnya lebar, matanya berkaca-kaca.
Langkah Perubahan
Beberapa bulan setelah lulus, Sumiati mendaftar CPNS. Prosesnya panjang, tapi akhirnya ia lolos.
Hari pertama masuk kantor, ia mengenakan seragam PNS berwarna cokelat muda. Cermin memantulkan wajahnya yang penuh percaya diri.
Kantor itu dunia yang berbeda. Rekan-rekannya anak pejabat, lulusan universitas ternama, terbiasa berbicara tentang liburan ke luar negeri. Awalnya Sumiati hanya mendengar, tapi perlahan ia terbawa.
Dua tahun berlalu, ekonomi keluarga membaik. Mereka pindah ke kontrakan yang lebih besar. Namun, di hati Sumiati, ada sesuatu yang berubah.
Suatu sore, saat Haryo menjemput di kantor dengan baju lusuh, teman kerjanya bertanya, “Suamimu kerja di mana?”
“Kontraktor,” jawab Sumiati singkat, menyembunyikan kenyataan bahwa Haryo hanyalah buruh harian
Kuli bangunan
Pekerja kasar
Gelas itu Retak
Di rumah, Sumiati mulai sering berkata, “Mas, coba cari kerja lain.
Jadi satpam kek, atau di gudang. Biar rapi dikit.”
Haryo menggeleng. “Aku suka bangunan.
Dari nol sampai jadi rumah, itu kepuasan buat aku.”
Pertengkaran mulai sering terjadi.
Suatu malam, di tengah suara hujan deras, Sumiati berkata dengan nada tinggi,
“Aku capek, Mas! Aku kerja ketemu orang-orang hebat, pulang malah begini. Kamu nggak mau berubah!”
Haryo menatapnya lama. “Mi… aku kerja kayak gini supaya kamu bisa sekolah. Supaya kamu bisa jadi seperti sekarang. Aku nggak pernah malu sama kamu. Tapi kalau kamu malu sama aku…” ia tak melanjutkan kalimatnya.
Bayangan Bahagia yang Singkat
Beberapa bulan kemudian, Sumiati hamil. Kelahiran bayi perempuan mereka membawa tawa baru. Malam-malam diisi suara tangis bayi, aroma bubur hangat, dan canda kecil.
Namun, setelah cuti melahirkan, Sumiati kembali ke kantor. Lingkungan yang sama membuat perasaan gengsinya tumbuh lagi.
Akhir Perpisahan
Suatu sore yang dingin, setelah pertengkaran panjang, Sumiati berkata lirih tapi tegas, “Mas… aku mau cerai.”
Haryo menatapnya lama, matanya merah.
Ia tak bertanya alasan. “Kalau itu bikin kamu bahagia, aku terima.”
Di ruang sidang, mereka duduk berseberangan. Tangan Sumiati gemetar saat menandatangani berkas. Haryo bangkit, berjalan keluar tanpa menoleh.
Epilog
Beberapa bulan kemudian, Sumiati mendengar kabar Haryo pindah ke luar kota, bekerja sebagai mandor di proyek besar. Teman lama mengirim foto: Haryo tersenyum di depan rumah kecil yang ia bangun sendiri.
Malam itu, Sumiati duduk di teras, memandangi langit senja.
Ia teringat janji Haryo dulu, di pematang sawah: “Aku janji bakal bikin kamu bahagia, sebisaku.”
Air matanya jatuh. Baru kali ini ia sadar: kebahagiaan sejati tak selalu datang dari status atau pakaian rapi. Kadang ia datang dari tangan yang kotor oleh kerja keras, dan hati yang bersih oleh cinta.
Www.kris.or.id
Www.adharta.com