Langit Surabaya Masih Biru
Oleh : Adharta
Ketua Umum
KRIS
Serie pertama
Cerpen 002
Sebuah Kehidupan yang Ditinggalkan
Pagi itu, Elisabeth duduk sendiri di sudut meja makannya yang kecil. Cahaya matahari menyelinap masuk melalui jendela kecil apartemennya di kota Pahlawan Surabaya, menari di atas meja yang penuh botol-botol serum dan krim wajah
produk-produk dari perusahaan kosmetik tempat ia bekerja.
Di usianya yang ke-35,
Elisabeth belum pernah merasakan kehangatan keluarga.
Ayah dan ibunya meninggal dalam kecelakaan mobil saat ia masih bayi
sebuah tragedi yang ia ketahui hanya dari cerita neneknya.
Nenek itu, satu-satunya pelindung, meninggal ketika Elisabeth baru kelas 4 SD.
Sejak saat itu, hidup Elisabeth menjadi roda takdir yang digerakkan oleh orang-orang yang tak pernah ia pilih.
Ia diasuh oleh sepasang suami istri tetangga neneknya, yang menyayanginya setengah hati.
Bukan kekerasan fisik yang membuat masa kecilnya sulit, tapi kekosongan emosional yang tak pernah bisa ia isi. Ia belajar untuk tidak berharap.
Elisabeth
Berjuang di Tempat Kerja, Tempat Luka
Elisabeth bekerja sebagai staf pemasaran di sebuah perusahaan kosmetik lokal yang cukup terkenal di Surabaya.
Ia paham betul soal skincare dan perawatan wajah
Ia bahkan sering menjadi tempat konsultasi teman-temannyaTapi di balik kompetensi itu, ia sering menjadi bahan ejekan di kantor.
“Elisabeth, kamu lagi-lagi pakai sepatu itu?”
“Aduh,
jangan dekat-dekat.
Bau makan siangnya bisa bikin serum kita luntur nih!”
Tawa-tawa itu menusuk.
Tapi Elisabeth terbiasa. Ia tak pernah membalas. Hanya menunduk, lalu bekerja lebih keras.
Kadang saat pulang malam, ia menangis diam-diam di bawah pancuran air.
Merasa kosong. Seperti hidup hanya lewat begitu saja. Ia pernah sekali jatuh cinta, saat usia 27, dengan seorang fotografer freelance yang ia temui di proyek kerja. Tapi ketika pria itu tahu Elisabeth tak punya keluarga, hubungan mereka langsung berakhir.
“Maaf, aku butuh seseorang yang punya akar, Lis…”
Akar? Elisabeth mengerti.
Ia seperti pohon yang tumbuh di tepi jurang. Bisa hidup, tapi tak punya pegangan kuat.
Bersambung
Adharta
Www.kris.or.id